25 Maret 2010

Dari Ramadhan dan Sha(o)lat ke Ramadan dan Salat: Telaah Serapan Bahasa Arab[1]

Abdul Gaffar Ruskhan Pusat Bahasa
1. Pendahuluan

Dalam bulan Ramadan kita banyak menemukan istilah agama Islam yang tentu berasal dari bahasa Arab. Misalnya, Ramadhan/Ramadhon/Ramadan, shalat/sholat/ salat, dzuhur/dhuhur/zuhur, shubuh/subuh, imsakiyyah/ imsakiyah/imsakiah. Istilah itu sejatinya merupakan istilah lama yang kemunculannya lebih kerap pada bulan puasa. Setiap datang bulan puasa, pemakai bahasa kadang-kadang bingung karena disodorkan istilah agama Islam yang penulisannya bervariasi. Variasinya itu lebih banyak lagi dalam media cetak. Penulis berita pun termasuk mereka yang bingung untuk menuliskan istilah bakunya di antara variasi itu. Karena itu, FBMM memilih topik tentang Ramadhan atau Ramadan dan Shalat/Sholat atau Salat.

Jika kita berbicara tentang istilah agama Islam, masalah yang timbul adalah apakah istilah itu harus kita tuliskan sesuai dengan lafal bahasa Arabnya. Sebuah istilah memang mengandung sebuah konsep yang tentu berkaitan dengan bidang yang diwakili oleh konsep itu berupa kata/istilah. Dalam agama Islam terdapat banyak konsep yang perlu dilambangkan dengan kata/istilah. Sebuah kata sebagai lambang sebuah konsep yang berkaitan dengan hal-hal keislaman dapat kita sebut istilah agama Islam.

Istilah agama Islam memang berasal dari bahasa Arab. Bahasa Arab, sebagaimana kita ketahui, memiliki bunyi dan lambang bunyi yang berbeda dengan bunyi dan lambang bunyi bahasa Indonesia. Lambang bunyi bahasa Arab kita kenal dengan huruf Arab yang ditulis dari kanan ke kiri di samping ada bunyi panjang (mad) yang membedakan makna. Karakter dan bunyinya berbeda dengan karakter dan bunyi bahasa Indonesia berupa huruf Latin. Karena itu, huruf Arab harus dialihhurufkan (ditransliterasikan) ke huruf Latin. Inilah yang memunculkan masalah dalam penulisan istilah agama Islam. Akibatnya, muncul berbagai bentuk transliterasi Arab ke Latin.

2. Transliterasi Arab-Latin

Ada beberapa bunyi bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Misalnya, huruf śa /ś/ (ث), şad /ş / (ص), dad /d/ (ض), ta /t/ (ط), za /z/ (ظ), zal /z/ (ذ), ha /h/ (ح), ain /’/ (ع), dan gain /g/ (غ). Di dalam transliterasinya, masing-masing dilambangkan ke dalam huruf Latin dengan bentuk yang berbeda. Pada transliterasi lama, kita akan menemukan huruf rangkap untuk melambangkannya. Misalnya, ts (ث), sh (ص), dh/dl (ض), th (ط), zh (ظ), dz (ذ), ch (ح), dan gh (غ) atau dengan simbol, seperti ’ (ع). Transliterasi seperti itu masih bertahan sampai saat ini. Kemudahan untuk menggabung dua huruf untuk melambangkan sebuah bunyi dalam bahasa Arab merupakan salah satu alasan mengapa penulisan itu masih bertahan.

Pada tahun 1989 pemerintah sudah memikirkan masalah kebingungan masyarakat untuk mentranslierasikan huruf Arab-Latin. Akhirnya, pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 158/1989 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543/1989 mengeluarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin, yang prinsipnya setiap bunyi dilambangkan dengan sebuah huruf, kecuali yang sudah berlaku dalam EYD, seperti sy dan kh. Sementara itu, lambang untuk huruf yang selama ini menggunakan huruf rangkap disepakati dengan satu huruf ditambah tanda diakritik, baik di bawah maupun di atas huruf. Misalnya, huruf śa /ś/ (ث), şad /ş / (ص), dad /d/ (ض), ta /t/ (ط), za /z/ (ظ), zal /ż/ (ذ), ha /h/ (ح), ain /’/ (ع), dan gain /g/ (غ). Huruf itu digunakan secara resmi dalam penulisan kata yang ditransliterasi ke dalam bahasa Indonesia.

Perlu diingat bahwa pilihan untuk memberi tanda diakritik untuk mewakili beberapa bunyi bahasa Aab itu di samping tidak akan menimbulkan kesalahan dalam mengucapkannya juga akan memudahkan penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia. Kesalahan baca terjadi karena ada kemungkinan dua huruf itu akan dibaca menjadi dua huruf yang berbeda, seperti adzan, ashar, fatsal, dan nazhar akan dibaca ad-zan, as-har, fat-sal, dan naz-har. Padahal, dua huruf itu melambangkan satu bunyi. Karena itu, pelambangannya dengan satu huruf merupakan solusi yang terbaik, apalagi akan memudahkan penyerapan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan tidak memberi tanda diakritik, kata yang ditransliterasi akan menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia.

3. Keraguan antara Kata Serapan dan Transliterasi

Transliterasi hanya digunakan untuk mengalihhurufkan tulisan Arab ke tulisan Latin (Indonesia). Pada umumnya, penerapan transliterasi itu sesuai dengan kaidah masing-masing, baik kaidah yang digunakan oleh organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, maupun media massa. Yang perlu dipahami adalah bahwa kaidah transliterasi itu tidak lagi digunakan untuk menuliskan kata-kata maupun istilah yang terserap ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata misal, pasal, hadir, taat, sabar, izin, dan sahabat tidak lagi ditulis mitsal, patsal (fatsal), hadlir, tha’at, shabar, idzin, dan shahabat. Kata-kata itu tidak lagi kita pandang sebagai bahasa Arab walaupun asal-usulnya berasal dari bahasa Arab. Begitu pula, istilah subuh, zuhur, asar, magrib, Safar, Rabiulawal, Rabiulakhir, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah sudah merupakan istilah agama Islam yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia. Penulisannya jelas tidak dilakukan seperti shubuh, dzuhur, ashar, maghrib, Shafar, Rabi’ulawwal, Rabi’ulakhir, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulkaidah, dan Dzulhijjah. Jika penulisannya itu masih mempertahankan keaslihannya, berarti kata dan istilah itu masih kita anggap asing sehinga penulisan menggunakan huruf miring.

Untuk itu, ada baiknya disimak data dalam berbagai media massa seperti berikut.

(1) Jadwal Imsakiyah Ramadhan 2009/1430 H: Ramadhan, Imsak, Subuh, Syuruq, Ashar, Maghrib, Isya (Imsakiah Garuda Indonesia) dalam Kompas.

(2) Semarak Ramadhan: Tips Ramadhan, Puasa (Kompas, 26-8-2009:41)

(3) Mereka (Jusuf Kalla_Habibi) berada di Mekkah untuk menunaikan ibadah umroh, khususnya pada suci Ramadhan (Kompas, 26-8-2009:3).

(4) Ramadhan: Bulan Tarbiyah dan Investasi; Jadwal Imsakiyah: Imsak, Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya (Republika, 21-8-2009:1)

(5) Awal Bulan Qomariyah...; Sebagai contoh, pada 20 Agustus 2009 terjadi keadaan 2, puasa awal Ramadhan adalah 22 Agustus. Pada 19 September terjadi keadaan 3, hilal sekitar 6 derajat, maka 1 Syawwal jatuh pada 20 September. Terakhir 16 November terjadi keadaan 1, maka awal Dzulhijjah jatuh pada 18 November. (Republika, 21-8-2009:4)

(6) Lantaran itu, di kampungnya, Palembang, dia mengisi Ramadhan dengan hal-hal yang positif ... (Rakyat Merdeka, 27-8-2009:1)

(7) Pergerakan harga gula pasir di dikarenakan pasokan gula kurang dalam atu pekan memasuki bulan Ramadhan (Pos Kota, 29-8-2009:1).

(8) Hilal tidak Tampak, 1 Ramadan Besok (Media Indonesia, 21-8-2009:1). Bandingkan dengan iklan yang dimuat MI: Selamat Menunaikan Ibadah Puasa RAMADHAN 1430 H (MI, 21-8-2009:10)

(9) Gema Ramadan (Koran Tempo, 26-8-2009:B2). Bandingkan dengan ”Suasana Ramadhan di surau Alkaustar, Blora, Tetap semarak meski tanpa takjil”. (Koran Tempo, 26-8-2009:B2)

(10) Cahaya langit Dompet Dhuafa (Koran Tempo, 26-8-2009:B3)

(11) Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan kebijakan agar jam masuk kantor PNS dikurangi satu jam selama Ramadan (Koran Jakarta, 27-8-2009:17)

(12) Mereka (para PSK) tidak memedulikan bulan suci Ramadan (Warta Kota, 28-8-2009:7).

Media massa merupakan sarana pembinaan bahasa Indonesia yang memiliki jangkauan khalayak yang luas. Setiap kata ataupun istilah yang disajikan oleh media massa mestinya dapat dijadikan acuan bagi pembaca atau pemirsanya. Namun, kenyataanya masih banyak madia massa yang menyajikan kata atau istilah yang tidak mengikuti kaidah yang baku. Bahkan, tidak jarang data yang sama ditulis secara tidak konsisten dalam media yang sama. Data di atas mrupakan bukti bagi kita bahwa media massa masih banyak yang menulis istilah agama Islam yang keliru. Kata Ramadan ditulis dengan Ramadan (KJ dan WK), tetapi ada juga yang tidak konsisten yang adakalanya ditulis Ramadhan (MI dan KT). Ada pula yang menulis Ramadhan secara konsisten (seperti Kompas, Republika, RM, PK). Bahkan, nama progam Ramadan di setiap televisi masih menuliskan Ramadan dengan Ramadhan, seperti Gema Ramadhan, Inspirasi Ramadhan Metro TV), Cinta Ramadhan (JakTV).

Istilah lain seperti tarbiyah, imsakiyah, shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Syuruq, umroh, dhuafa, Syawwal, Dzulhijjah, dan Qomariyah masih menggunakan penulisan yang tidak baku. Seharusnya isilah itu dituliskan tarbiah, imsakiah (tanpa y), Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, syuruk (dengan k), umrah (bukan o), duafa, Syawal (satu w), Zulhijah (dengan z dan satu j), dan Kamariah (huruf k, bukan o, tanpa y).

4. Faktor Kesalahan dan Solusinya

Mengapa masyarakat masih saja menggunakan tulisan yang mendekati bunyi Arabnya yang dinyatakan dalam transliterasi? Ada beberapa alasan, menurut pandangan penulis, antara lain adalah sebagai berikut.

a. Kelaziman yang sudah melekat itu memang sulit dihilangkan sehingga tulisan yang sudah digunakan selama ini masih dipertahankan.

b. Keinginan kalangan agama Islam yang ingin mempertahankan keasliannya sehingga sebuah istilah atau kata yang berasal dari bahasa Arab diucapkan seperti bahasa Arabnya. Hal ini muncul dari kalangan yang berlatar belakang bahasa Arab atau santri.

c. Keinginan mempertahankan keasliannya karena ada anggapan bahwa kata Arab dengan huruf tertentu dapat membedakan makna jika diganti dengan huruf yang mirip, seperti ashar ’waktu petang’ dengan atsar ’bekas; jejak; hadis’. Kata qalbu ”hati’ dan kalbu ’anjing’.

d. Ada segi kemudahan menuliskan kata yang dianggap kearab-araban itu dengan huruf rangkap daripada huruf bertanda diakritik. Lambang yang terakhir itu masih belum banyak dimiliki oleh pengguna, termasuk belum ada dalam program komputer pada umumnya.

e. Ada kelompok masyarakat yang ”ikut-ikutan” menuliskannya dengan alasan mengikuti yang sudah ada tanpa ada usaha untuk mencari penulisan yang benar.

f. Ada kelompok yang tidak mau dikritik apabila ”berani” menuliskan kata atau istilah yang berbeda dari biasanya. Ini merupakan pengalaman penulis ketika menuliskan Ramadan tanpa h dalam rubrik yang penulis asuh sehingga Ramadan yang penulisannya sudah benar diubah menjadi Ramadhan.

Untuk mengatasi alasan itu ada beberapa hal yang perlu dipahami.

a. Setiap bahasa tidak luput dari pengaruh bahasa lain. Bahasa Indonesia cukup banyak menerima pengaruh dari berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab yang banyak menyumbangkan kosakatanya. Jika kata Arab itu sudah menjadi khazanah bahasa Indonesia, kata itu harus tunduk ke dalam kaidah bahasa Indonesia, termasuk penulisan istilah.

b. Jika sebuah kata/istilah yang langsung diambil dari bahasa Arab, artinya belum pernah digunakan selama ini, langkah awal adalah mentransliterasikannya. Transliterasi yang digunakan adalah transliterasi resmi, yakni menggunakan prinsip satu bunyi dengan satu huruf yang diberi tanda diakritik. Penulisan selain itu akan tetap membingungkan pembaca. Kata ashar dan adzan akan membingungkan karena akan dibaca as-har dan ad-zan. Apalagi, kata-kata itu tidak perlu lagi ditransliterasi, tetapi ditulis sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia.

c. Pusat Bahasa bersama dengan pakar agama Islam, baik dari akademisi, wakil lembaga keislaman, ahli bahasa telah menyepakati bahwa istilah agama Islam yang berasal dari bahasa Arab diindonesiakan dengan mengikuti ejaan bahasa Indonesia. Misalnya, salat, tausiah, raksumal ’modal’, tablig, mukhatarah ’risiko’ tidak ditulis shalat, taushiyyah, ra’sumaal ’modal’, tabligh, mukhatharah.

d. Bahasa mengenal bahwa sebuah kata dapat memiliki makna yang berbeda, yakni homonimi. Kekhawatikan makna yang berbeda itu tidak perlu terjadi karena mau tidak mau bahasa apa pun akan mencatatnya sebagai kosa kata yang berbeda. Bandingkan dengan kata hak yang memiliki berbagai makna yang tidak ada hubungan antara yang satu dan yang lain.

e. Perlu ada kesadaran dan keberanian untuk menuliskan istilah agama Islam yang disesuaikan dengan kaidah ejaan bahasa Indonesia; apabila diperlukan, dapat diikuti dengan translirerasinya yang dituliskan dengan huruf miring. Keragu-raguan penulisan terhadap sebuah istilah menandakan tidak adanya keberanian pengguna untuk menentukan istilah yang baku.

f. Pengadaan program lambang huruf (font) transliterasi Arab-Latin yang resmi perlu dilakukan agar memudahkan pengguna memilih lambang huruf yang diharapkan.

Upaya yang dilakukan untuk menuliskan kata/istilah agama Islam dalam bahasa Indonesia merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, terutama oleh media massa. Masalah yang muncul selama ini dapat diatasi dengan beberapa solusi yang dikemukakan di atas. Dengan demikian, pengguna, khususnya media massa, dapat menuliskan kata atau istilah itu secara taat dan konsisten.

5. Penutup

Penyerapan kata/istilah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dimaksudkan untuk memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Kata/istilah bahasa Arab yang belum terserap dapat dituliskan dengan menggunakan transliterasi Arab-Latin. Untuk itu, ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian pengguna bahasa Indonesia, khususnya kalangan media massa.

a. Dalam madia massa penggunaan kata serapan bahasa Arab tidak dapat dihindari, terutama istilah agama Islam. Penulisan kata atau istilah itu perlu berpedoman kepada kaidah yang baku agar pembaca atau pemirsa tidak bingung. Karena itu, kata seperti Ramadan, salat, subuh, zuhur, Asar, Magrib, tarbiah, imsakiah, syuruk, umrah, duafa, Syawal, Zulhijah, dan Kamariah merupakan istilah baku yang perlu disosialisasikan.

b. Penulisan transliterasi hanya berlaku untuk mengalihkan huruf Arab ke dalam huruf Latin (Indonesia). Hasil transliterasi itu ditulis dengan menggunakan huruf miring karena dianggap kata asing. Transliterasi tidak berlaku pada kata umum dan istilah agama Islam yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia.

c. Kesadaran bahwa kata atau istilah apa pun yang digunakan dalam masyarakat bahasa akan berintegrasi dengan bahasa tersebut sehingga kata dan istilah itu akan tunduk kepada kaidah bahasa yang bersangkutan.

d. Kalangan keagamaan perlu memiliki keikhlasan agar kata Arab yang digunakan sebagai kata umum dan istilah tidak lagi milik bahasa Arab, tetapi sudah menjadi milik pengguna bahasa Indonesia sehingga penulisannya mengikuti kaidah bahasa Indonesia.

e. Semua media massa, baik cetak maupun elektronik, perlu menyepakati penulisan kata dan istilah Arab yang baku dalam media masing-masing agar peran media massa sebagai sarana pembinaan bahasa Indonesia terwujud.


Daftar Pustaka

Anttila, Raimo. 1972. An Introduction to Historical and Comparative Linguistics. New York: MacMillan.

Badudu, J.S. 1991. "Pengaruh Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia". Makalah dalam "Konferensi dan Musyawarah Nasional VI Masyarakat Linguistik Indonesia. Semarang.

Baried, Siti Baroroh. 1982. "Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia". Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Emzir. 1994. "Perubahan Makna Kosa Kata Bahasa Indonesia yang Berasal dari Bahasa Arab". Dalam majalah Nadi'l-Lughah al Arabiyyah. Malang.

Hasjmi, A. 1993. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Almaarif.

Moeliono, Anton M. 1968. "Masalah Asli dan Asing dalam Bahasa Indonesia. Dalam Anton M. Moeliono. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: Gramedia.

Ruskhan, Abdul Gaffar et al. 2002. Pungutan Padu dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

---------. 2005. “Unsur Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonsia”. Makalah dalam Seminar FBMM, 28 Oktober 2005, Gedung Bentara Budaya, Kompas

---------. 2007. Bahasa Arab Dalam Bahasa Indonesia: Kajian Pungutan Bahasa. Jakarta: Grasindo.

Weinreich, Uriel. 1953. Languages in Contact: Findings and Problems. The Hague: Mouton.

Lampiran

DAFTAR KATA BAKU SERAPAN BAHASA ARAB

Nonbaku Baku

adzan azan

afdhal afdal

aliyah aliah

ashar asar

aqad akad

aqidah akidah

aqiqah akikah

ashar asar

azas asas

bai’at baiat

baitulmaal baitulmal

baligh balig

bathin batin

dhaif daif

dharuri daruri

dhuzur zuhur

dhuafa duafa

do’a doa

dzikir zikir

Dzulqaidah Zulkaidah

Dzulhijjah Zulhijah

Fadhilah fadilah

fithrah fitrah

fuqaha fukaha

fiqh fikih

haqiqat/hakekat hakikat

ibtidaiyah/ibtidaiyyah ibtidaiah

Idul Adha/Aidul Adha Iduladha

Idul Fitri/Aidul Fitri Idulfitri

imsakiyah imsakiah

infaq infak

intifadhah intifadah

istighfar istigfar

istighasah istigasah

iqamat ikamat

Isro’ Mi’raj Isra Mikraj

istihadhah istihadah

jahiliyah jahiliah

Ka’bah Kakbah

lafadh lafal

maghrib magrib

maghfirah/maghfiroh magfirah

Makkah/Mekkah Makah

Medinah Madinah

ma’rifat makrifat

maghfirah/maghfiroh magfirah

maghrib magrib

muadzdzin muazin

Muharram Muharam

mustahiq mustahik

muzakki muzaki

nash hadits nas hadis/teks hadis

nadhar nalar

Qomariyah/Qamariyyah Kamariah

ra’sul maal raksulmal

Rabi’ul Awwal Rabiulawal

Rabi’ul Akhir Rabiulakhir

Ramadhan Ramadan

ru’yah rukyah

shadaqah/shodaqah sedekah

Shafar Safar

Shahabat sahabat

shalat/sholat salat

shalat dhuha salat duha

shabar/shobar sabar

shaleh/sholeh saleh

shubuh subuh

sunnah sunah

Sya’ban Syakban

syari’ah/syar’iyyah/syareat syariah

Syawwal Syawal

syuruq syuruk

tha’at/thoat taat

tsanawiyyah sanawiah

tabayyun tabayun

tabligh tablig

tadzkirah tazkirah

talbiyah talbiah

taushiyah tausiah

tayammum tayamum

ummat umat

umroh umrah

ustadz ustaz

wassalam wasalam

zhahir lahir

zhalim zalim

zhihar zihar

zhuhur zuhur



[1] Makalah yang disajikan dalam Seminar Forum Bahasa Media Massa, 8 September 2009, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanegara, Jakarta



4 komentar:

atmo mengatakan...

Blogyang menarik.

Cuma say amasih sering menuliskan Ramadan dengan cara Ramadhan.

Anonim mengatakan...

Jadi MTs(Madrasah Tsanawiyah) harus diubah dong menjadi MS(Madrasah Sanawiah)?

Anonim mengatakan...

Jika memang Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah tidak baku, harusnya Kemenag memberikan keputusan untuk menggantinya menjadi Madrasah Ibtidaiah, Sanawiyah, dan Aliah. Atau Kemenag sendiri nggak paham dengan kosakata bahasa Indonesia yang baku?

محمد سهلان رشيدى mengatakan...

Saya lebih suka menulis dengan huruf aslinya bila menginginkan pembaca mengetahui bunyi aslinya. Kenyataannya memang banyak yang jadi salah arti seperti kata ḥâjjah (حاجّة) yang berarti wanita yang melaksanakan ibadah haji yang sering diucapkan hâjah (هاجة) yang berarti katak betina.