5 Juni 2011

”Perajin” atau ”Pengrajin”

Setelah kata Pergantian dan Penggantian yang membuat kita bingung, kita juga dibingungkan mana yang benar, 'perajin' atau 'pengrajin, 'perusak' atau 'pengrusak'? Pemakaian kata ini sangat bersaing di masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV Pusat Bahasa sublema pengrajin yang diturunkan dari lema rajin bermakna perajin n 1 orang yg bersifat rajin: para ~ itu bekerja keras meningkatkan hasil kerjanya; 2 sesuatu yg mendorong untuk menjadi rajin: perusahaan memberikan hadiah lebaran satu bulan gaji sbg ~ pegawai; 3 orang yg pekerjaannya (profesinya) membuat barang kerajinan;

Dari cara Pusat Bahasa menuliskan makna pengrajin yang sama artinya dengan perajin itu, kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya bentuk pengrajin sah-sah saja dipakai alih-alih perajin. Hal ini semakin membuat kita bingung dan timbul pertanyaan mengapa KBBI tidak tegas menentukan kata yang benar?

Salah satu karakter KBBI adalah merekam semua kata yang ada dan dipakai di masyarakat. Kata pengrajin diketahui banyak dipakai lalu kata itu memiliki hak menjadi warga kata penghuni KBBI. Hingga tulisan ini saya tayangkan di sini, kata pengrajin ditemukan di mesin pencari Google sebanyak 2.730.000 berbanding 1.060.000 untuk kata perajin. Pemakaian kata ini sangat bersaing. Mungkin saja ini menjadi alasan penyusun KBBI memasukkan kata 'pengrajin ' sebagai sama dengan 'perajin'.

Dari karakter KBBI seperti itu, kata-kata yang direkam belum tentu benar atau salah. Sejatinya, Pusat Bahasa perlu secara tegas memberikan pencerahan kepada pengguna KBBI untuk bentuk-bentuk bersaing seperti itu. Seperti halnya untuk kata silahkan yang memakai tanda panah merujuk pada kata silakan karena kata dasarnya sila.

Ada beberapa cara bagi kita menentukan bentuk yang benar. Pertama, melihat kelaziman. Umumnya, awalan /pe-/ atau /per-/ yang melekat pada kata berfonem awal /r/ tidak berubah menjadi /peng-/, misalnya: pe + raih peraih; pe + rampok perampok; pe + ramu perenang; pe + rias perias; pe + rintis perintis; pe + rusak perusak.

Dari contoh di atas bisa kita lihat bahwa bentuk pengraih, pengrampok, pengramu, pengrenang, pengrias, pengrintis ataupun pengrusak adalah bentuk yang salah.

Kedua, melihat proses terbentuknya kata tersebut. Kita ambil contoh kata dasar ‘tulis’ yang menurunkan bentuk ‘menulis’, ‘penulis’, ‘penulisan’, ‘tulisan’. Demikian juga dengan contoh berikut ini:

  • raih meraih peraih peraihan raihan
  • rampok merampok perampok perampokan rampokan
  • ramu meramu peramu peramuan ramuan
  • rusak merusak perusak perusakan — (tidak ada bentuk rusakan)

Sekarang kita bisa melihat bahwa bentuk pengraihan, pengrampokan, pengramuan atau pengrusakan tidak kita temukan. Tentu saja, analogi di atas bisa kita coba pada kata ‘rajin’: ‘rajin’ ‘merajinkan’ ‘kerajinan’ ‘perajin’.

Mari kita bandingkan dengan contoh berikut.
  • gali menggali penggali penggalian galian
  • ganti mengganti pengganti penggantian gantian
  • ganti berganti pergantian (baca: juga Pergantian atau Penggatian
Setelah membaca uraian singkat ini, semoga kita bisa bersikap untuk tidak lagi menggunakan pengrajin alih-alih perajin. [Apolonius Lase, Penyelaras Bahasa Harian Kompas; Penyusun Kamus Nias-Indonesia]

* Artikel ini pernah ditayangkan di http://suaradalamdiam.blogspot.com

28 Maret 2010

Menunggu Titik dari Presiden [1]


Oleh T.D. Asmadi Ketua Umum Forum Bahasa Media Massa (FBMM)

Barangkali ketika DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 dan kemudian Presiden menandatanganinya menjadi Undang-Undang pada tanggal 9 Juli 2009, sebagian pencetus gagasan, penyusun, dan penggerak untuk terciptanya undang-undang tersebut berlega hati. Akhirnya, perjuangan untuk adanya undang-undang tentang bahasa gol juga. Begitu mungkin yang ada di hati mereka. Indonesia memang akhirnya memiliki undang-undang bahasa, sama dengan beberapa negara lain, seperti Prancis.

Terus terang, sebagai orang yang sejak 39 lalu—ketika pertama kali menjadi wartawan—berkutat dengan bahasa, saya pun lega: akhirnya ada satu pegangan berkaitan dengan bahasa. Wartawan memang sewajarnya gembira karena kini ada naungan undang-undang untuk bidang yang mereka geluti tiap hari. Wartawan adalah profesional yang paling banyak bergulat dengan bahasa Indonesia—tiap hari mereka menyusun kata-kata menjadi informasi untuk khalayak—sehingga wajar jika bergembira dengan ‘ketetapan’ tentang bahasa ini.

Namun, di samping kegembiraan itu, muncul juga butir-butir kekecewaan. Misalnya, mengapa undang-undang tentang bahasa disatukan dengan tentang bendera dan lagu kebangsaan? Bahasa adalah masalah yang lebih menyentuh karakter dan budaya bangsa sehingga sepatutnya ada dalam undang-undang tersendiri. Bahasa adalah ‘makhluk’: yang terus berkembang, yang terus diperbincangkan orang, dan tentu saja karenanya tidak sama dengan bendera Merah Putih kita atau Lagu Kebangsaan kita. Bukankah kedua ‘mitra’ di UU No. 24 Tahun 2009 itu sejak Kemerdekaan kita tetap yang itu saja (dan ini menunjukkan betapa ‘saktinya’ kedua hal itu), sedangkan bahasa terus berubah?

Meskipun demikian, betapapun undang-undang tentang bahasa sudah ada. Jadi, kita pun pantas menghargainya.

Belum Titik

Sebagaimana undang-undang yang lain, Undang-Undang No 24 Tahun 2009 masih memerlukan banyak hal untuk menjadi satu aturan yang bisa dilaksanakan. Ibarat kalimat, ia masih pada tanda baca ‘koma’. Perlu tindakan-tindakan lain agar menjadi kalimat sempurna yang diakhiri dengan titik. Salah satunya diamanatkan oleh undang-undang itu sendiri, yaitu pada Pasal 40. ”Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimakssud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.”

Jadi, meskipun pada pasal-pasal itu bahasa Indonesia wajib digunakan dalam banyak hal—pidato resmi pejabat negara, pengantar dalam dunia pendidikan, pelayanan adminsitrasi publik, perjanjian dengan negara lain yang melibatkan lembaga negara dan swasta, forum nasional dan internaional di Indonesia, komunikasi resmi di lingkungan pemerintah dan swasta, laporan perseorangan kepada lembaga negara, penulisan dan karya ilmiah di Indonesia, nama geografi Indonesia, informasi tentang produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia, rambu, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan informasi di media massa—tetap saja perlu ada peraturan lain untuk ‘menguatkan’ atau ‘menerjemahkannya’ dalam kehidupan sehari-hari.

Ambil contoh kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam ‘forum nasional dan internasional di Indonesia’ (Pasal 32). Berkaitan dengan itu, tepatkah penamaan ‘National Summit’ untuk pertemuan kalangan pemerintah dan swasta pada tanggal 29 Oktober tahun lalu—hanya satu hari setelah peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda? Apakah penggunaan istilah asing itu dibenarkan karena sesuai dengan amanat Pasal 40 belum dilaksanakan, Presiden belum mengeluarkan peraturan untuk hal itu ?

Ambil juga soal nama tempat yang dalam UU tersebut diatur pada Pasal 36. Untuk soal ini pun kita—maksudnya media—masih terus bergulat dengan berbagai ketentuan yang ada. Ambil contoh yang paling gampang, nama-nama tempat di Jakarta. Bagaimana menulis nama tempat yang menjadi lokasi kita sedang berbincang ini: Palmerah, Paalmerah, atau Paal Merah? Lihatlah petunjuk di Jalan Cileduk Raya, di sekitar Seskoal. Dua dari tiga nama itu ada pada petunjuk yang dibuat oleh pemerintah (daerah). Media harus mengikuti yang mana?

Atau, bagaimana menulis nama daerah istimewa di Jawa: Yogyakarta seperti selama ini dikenal ini, atau Jogjakarta, yang dikenalkan tahun-tahun terakhir ini dan juga dipakai pada masa kolonial Belanda? Konon, perubahan menjadi ‘Jogjakarta’ untuk tujuan pariwisata, agar enak diucapkan oleh wisatawan asing. Manakah di antara keduanya ‘yang Indonesia’, yang harus diikuti media?

Lalu, juga bagaimana menulis nama kota yang berada dalam jalur selatan Jawa tengah: Purbalingga atau Purbolinggo? Kutaarja (atau bahkan Kutaardja) atau Kutoarjo?

Di luar Jawa tentu saja lebih banyak lagi masalah agar sebuah tempat (kota atau kabupaten) bisa disebut ‘berbahasa Indonesia’? Apa nama Indonesia-nya untuk sebuah ‘kota’ oleh penduduknya ‘Sungailandih’: Sungailendir? Tentu konotasi nama yang ‘Indonesia’ itu akan sangat lain jika diucapkan di luar tempat aslinya atau, bahkan, di Sumatera barat sendiri, tempat daerah itu berada.

Inti dari persoalan itu adalah: pemerintah perlu menetapkan nama-nama resmi semua daerah di Indonesia, entah itu kabupaten, kota, kecamatan, desa, kelurahan, dan juga pulau-pulau. Media massa dengan demikian tinggal menuruti ketetapan pemerintah itu.

Lalu, tentang nama bangunan atau gedung, jalan, permukiman, dan lain-lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 36. Dulu dengan senang hati kami menulis Balai Sidang Jakarta. Kini, panitia setiap acara apa pun menyebut tempat itu Jakarta Covention Centre dan orang pun semua beralih ke situ. Tentu masih banyak lagi nama yang bisa disebut untuk hal itu. Salah satunya kalau kita ke Serpong. Sampai sekarang orang menyebut singkatannya BSD untuk Bumi Serpong Damai. Namun, papan besar masuk ke kawasan itu berbunyi ”BSD City”.

Bagaimana media menulis nama itu?

Unsur lokal

Bahasa Indonesia dari sudut nasional sudah selesai. Ia sudah menjadi bahasa negara seperti ditetapkan UUD dan dipergunakan oleh rakyat kita dari Sabang sampai Merauke. Bahasa kita ini lebih baik dibandingkan dengan bahasa nasional di India, Ukraina, Aljazair, bahkan di Amerika Serikat. Di sini kita akan dapat berhubungan dengan siapa pun di pelosok Tanah Air dengan bahasa Indonesia.

Hanya saja, ada hal lain yang menarik: unsur lokal, baik penulisan maupun pelafalan, sangat memberi warna pada bahasa kita ini. Unsur lokal ini dapat muncul pada media apa pun, baik media dalam ruang maupun luar ruang—berupa spanduk, baliho, pamflet, dan lain-lain—atau lebih-lebih media massa.

Sebuah surat kabar di Medan menulis dengan judul “Jalan Tol Cipularang Amblas” ketika tanah pada beberapa ruas jalan tol yang menghubungkan Jakarta–Bandung itu, turun. Media lain di luar Medan—mungkin juga luar Sumatera—menulis dengan ‘ambles’. Kedua kata, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi terakhir, 2008) berasal dari bahasa Jawa itu, memang berdekatan sekali pengucapan dan penulisannya. Meskipun artinya sangat berbeda.

Jarangnya, atau tiadanya, kata dengan suku kata akhir berbunyi ‘e..’ di Medan, dapat menjadi sebab kesalahan pengertian itu. Sama dengan olok-olok bahwa orang-orang Jawa selamanya tidak dapat masuk ITB atau IPB karena para calon mahasiswa akan selalu menyebut Institut Teknologi Mbandung yang singkatannya ITM. Atau, orang-orang Sunda yang menuduh orang lain ‘mempitnah’ mereka seakan-akan tidak bisa mengucapkan secara tepat kata yang ada huruf ‘f’ atau ‘v’. Untungnya, baik orang Jawa maupun orang Sunda tetap menulis sesuai dengan kata aslinya.

Unsur lokal ini tampak di sejumlah kota Indonesia, mulai Jayapura, Ambon, Yogyakarta, Pekanbaru, sampai Banda Aceh. Sebuah papan informasi di tempat buang air di bandara Jayapura berbunyi “Mari JANG TUNDA lagi, jaga diri deng orang yang tong sayangi”. Lalu kalimat berikutnya berbunyi “Tong sayangi tong pu pasangan atau keluarga? Hindari HIV dan AIDS, berganti-ganti pasangan bawa risiko celaka di tong pu hidup”.

Di Maluku juga ada kata-kata lokal pada ‘papan reklame’. Jika keluar dari Bandara Pattimura dan menuju Kota Ambon, akan tampak sebuah peringatan yang dipasang di sebelah kiri jalan. Bunyinya “Basudara, Jang Ngebut Nanti Cilaka”. Jelas ini bahasa Indonesia versi lokal Maluku.

Di Pekanbaru, papan nama dinas provinsi bertuliskan huruf Arab di bawah yang bertuliskan huruf Latin. Di Yogyakarta, papan nama jalan bertuliskan huruf Jawa di bawahnya. Di Bandung, beberapa papan nama jalan juga bertuliskan huruf Sunda.

Di antara ‘bahasa-bahasa Indonesia’ di luar ruang itu mana yang bahasa Indonesia? Atau, hal itu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memang didukung bahasa daerah? Atau, itu merupakan salah satu penjabaran Pasal 42 yang mewajibkan pemerintah daerah untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa daerah?

Masuknya unsur lokal dalam bahasa Indonesia ini sangat kentara dalam media massa. Selain contoh di Medan, banyak contoh lain muncul. Di Yogyakarta, kata ‘geruduk’ selalu dipakai jika menggambarkan orang banyak mendatangi seseorang yang dianggap berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan orang banyak. Sebuah koran, bahkan bingung menulis ‘geruduk’ atau ‘gruduk’. Dalam bahasa Jawa, kata itu berarti ‘mengejar beramai-ramai’ yang tentu berbeda dengan ‘geruduk’ atau ‘gruduk’ yang ditulis di koran.

Kata-kata itu ternyata belum masuk KBBI, meski sudah sering muncul di media massa, baik yang di daerah Jawa maupun yang nasional.

Di Cirebon, koran setempat memunculkan kata ‘oncog’ yang mungkin artinya ‘mendatangi dengan rasa marah yang tinggi’ (ini makna dari saya, lho).

Di Bandung ada ‘cileuncang’ yang artinya banjir (air menggenang dengan besar) karena selokan atau drainase tertutup. Sama dengan ‘rob’ yang artinya banjir karena pasang naik air laut. Dulu ‘rob’ hanya dikenal di Semarang, tetapi kini sudah juga beredar di Kompas karena ada ‘rob’ di pantai utara Jakarta.

Di Aceh ada kata ‘gacok’ sebagai ganti ‘joki’ (yang ikut ujian untuk orang lain).

Setelah koma

Begitulah memang banyak sekali yang harus dilakukan agar Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 ini, terutama tentang Bahasa, dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Peraturan presiden perlu diterbitkan agar jelas soal kewajiban menggunakan bahasa Indonesia ini. Peraturan pemerintah juga perlu dikeluarkan untuk melaksanakan pasal-pasal tertentu.

Undang-undang itu masih belum titik, baru sampai koma. Setelah koma masih banyak yang harus dilakukan oleh siapa saja. Media massa perlu terus bersama-sama ‘menyatukan pelafalan dan penulisan’ bahasa Indonesia yang tepat agar masyarakat tidak bingung. ‘penyatuan’ ini merupakan salah satu tujuan berdirinya Forum Bahasa Media Massa (FBMM). Usaha ‘menyatukan’ ini di samping perlu selalu diingat oleh media massa sendiri, juga menghendaki dukungan lembaga bahasa dan pakar bahasa.

Tanpa ‘penyatuan’ barangkali suatu saat, orang Aceh harus membawa kamus bahasa Jawa–Indonesia, jika berkunjung ke Yogyakarta atau Jawa Tengah. Dan orang Makassar harus pula membeli kamus bahasa Sunda–Indonesia jika berkunjung ke Bandung lalu membeli koran Pikiran Rakyat.

Tentu akan lebih baik jika di seluruh Indonesia mobilitas orang tidak terganggu oleh bahasa karena perbedaan bahasa Indonesia yang ada di tiap daerah.

Presiden dapat memulai langkah itu dengan melirik undang-undang ini dan menerbitkan peraturan yang sesuai dengan tugasnya. Sebenarnya, Presiden juga perlu langsung membawahkan lembaga bahasa (dan bukan menteri seperti yang dicantumkan dalam undang-undang itu) sehingga perkembangan bahasa Indonesia langsung maju ke pusat pemerintahan.

Jangan lupa banyak harapan dan komentar dari orang luar bahwa bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional karena berbagai karakteristik yang ada pada bahasa kita itu. Tentu saja, bagian dalam diri kita sendiri dulu yang perlu diperbaiki untuk melangkah ke arah itu.

Jakarta, 26 Maret 2010

Disampaikan pada seminar “Menyikapi Undang-Undang Bahasa” tanggal 27 Maret 2010 di Gedung Kompas-Gramedia Jakarta.


[1] Disampaikan pada seminar “Menyikapi Undang-Undang Bahasa” tanggal 27 Maret 2010 di Gedung Kompas-Gramedia Jakarta.


Bangga Berbahasa Indonesia Sebuah Tawaran[1]

Eko Endarmoko [2]
Jika selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa kerja menyunting itu hanya berurusan dengan ejaan dan tata bahasa, tak lebih dari semacam kerja pertukangan, sebentar lagi akan kita melihat bahwa anggapan tersebut keliru, bahwa sebetulnya menyunting bukan sekadar mengurusi aspek bahasa sebuah naskah yang akan diterbitkan menjadi sebuah buku.

Menyunting atau mengedit lazimnya dikaitkan dengan kegiatan mempersiapkan sebuah naskah, entah berupa tulisan pendek atau calon buku, dari segi bahasa. Oleh sebab itu, penyunting sudah dengan sendirinya perlu menguasai pengetahuan mengenai bahasa, dari soal ejaan dan tanda baca, tata kalimat, sampai pada tataran makna. Ini saya kira bukanlah syarat melainkan semacam sifat yang lekat pada diri penyunting. Lebih penting di sini adalah kemampuan berbahasa—atau dalam rumusan lain, keterampilan berkomunikasi—yaitu bagaimana semua pengetahuannya tentang bahasa diwujudkan dalam praktik. Ia juga, tentu saja, diharapkan cukup memahami topik tulisan yang tengah ia garap, atau paling sedikit, konteks yang menelikungi teks garapannya.

Saya setuju dengan pandangan bahwa penerapan kaidah berbahasa yang baik dan benar berperan besar dalam penciptaan kalimat yang mudah, dan kecil kemungkinan akan salah, dimengerti. Atau sebaliknya, kalimat yang kabur sering dapat dibuktikan terlahir dari tangan orang yang abai pada kaidah berbahasa. Maka dapat dimaklumi apabila seorang penyunting pertama-tama dituntut menguasai betul kaidah bahasa, tahu persis bagaimana menggunakan tanda baca, mana bentuk kata yang baku dan mana yang tidak, bagaimana membangun kalimat yang efektif, seperti apa rupa wacana yang elok dari segi bahasa.

Barangkali itu sebabnya mengapa timbul anggapan bahwa menyunting adalah memperbaiki, atau berurusan dengan, bahasa. Anggapan yang kurang tepat benar ini dekat dengan pemikiran bahwa bahasa adalah alat, metode, dengan segala hukum di dalamnya, guna menyampaikan sesuatu maksud. Ini adalah anggapan yang melupakan segi paling penting dari bahasa, yaitu kenyataan bahwa bahasa adalah satu dunia tersendiri yang terdiri atas konsep dan makna: ada yang sudah dan ada pula yang belum punya nama. Ia punya aturan main sendiri, yang terkadang ganjil dan tak sejalan dengan—atau malah memunggungi, sebagaimana tampak pada karya sastra—aturan formal ketatabahasaan yang lazim. Ringkasnya, ilmu bahasa boleh jadi akan selalu mengalami kesulitan merumuskan gejala kebahasaan secara teoritis, memetakannya secara ilmiah.

Penyunting yang memandang bahasa sekadar alat telah terkecoh oleh pandangannya yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Berbekal kitab aturan bahasa, ia akan mencurahkan perhatiannya lebih kepada bentuk daripada isi. Ia juga akan terpaku pada detail dan abai pada wacana secara keseluruhan. Kalaulah berdasar pandangannya itu seorang penyunting kemudian berpendapat bahwa kaidah bahasa bersifat mutlak, ia saya kira sudah dikendalikan oleh semangat yang berlebihan di dalam upaya membangun kalimat yang necis. Ia senantiasa dibayangi hasrat, kalau tak dapat dikatakan ambisi, menemukan maksud tertentu sebuah teks.

Apabila pada suatu ketika seorang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia akan tergoda merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah ini bersifat niscaya, bahwa penyunting harus mencoret demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja. Barangkali tak disadari benar olehnya, seraya membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali dengan, sekali lagi, berpedoman pada kaidah bahasa yang baku, sambil kemudian tanpa sadar memasukkan pengertiannya sendiri.

Pengetahuan mengenai kaidah kebahasaan, bagi saya, bermanfaat bagi penyunting terutama sepanjang menyangkut bentuk atau segi-segi lahiriah sebuah naskah. Kaidah kebahasaan di situ bolehlah kita padankan dengan kemasan atau baju sebuah tulisan. Tapi kini kita tahu, lebih perlu bagi seorang penyunting adalah mengembangkan kemampuan berbahasa, sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan melainkan juga apakah tulisan itu disajikan dengan menarik, dapat dimengerti, dan, yang tak kurang penting: valid.

Sebab, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa menurut saya menunjukkan bukan sebuah sikap patuh, taat, melainkan semacam rasa bangga. Di sekitar lingkup persoalan-persoalan itulah seorang penyunting, yang secara sederhana terkadang disebut juga penyelaras bahasa, paling banyak bekerja menjalankan perannya. Maka perkenankanlah saya mengimbuhkan satu saja peran penyunting: ia seyogianya menyemaikan rasa bangga itu di kalangan pemakai bahasa Indonesia.

Tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa sang penyelaras bahasa alias penyunting itu harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai seolah-olah itulah satu-satunya persoalan yang dihadapi dan mesti diselesaikan oleh penyunting sehingga patut dinyatakan lebih tegas sebagai syarat mutlak menjadi penyunting. Saya melihat ada persoalan di balik desakan tersebut. Seperti tadi sudah saya katakan, penyunting menguasai pengetahuan bahasa, menurut saya, bersifat niscaya. Ini lebih merupakan sifat yang lekat pada diri seorang penyunting daripada mesti dianggap sebagai sebuah syarat. Lebih patut dipersoalkan adalah apakah bila dikatakan penyunting harus mengerti kaidah tata bahasa Indonesia, lantas juga berarti harus mematuhi kaidah itu? Inilah “paradoks” dalam kerja menyunting sebagaimana nanti akan kita bincangkan lebih lanjut, setelah, atau sambil mencoba menjawab pertanyaan: apakah “penyunting”? Juga, apakah “menyunting”?

Istilah “penyunting” sering dipakai berganti-ganti dengan “editor”. Kedua istilah ini sebenarnya punya arti sama belaka. Tapi, entah sejak kapan persisnya dan entah siapa pula yang memperkenalkan, kini kita mengenal istilah lain: “penyunting naskah”, sebagai padanan “kopi editor”. Barangkali istilah ini diperkenalkan oleh penerbit besar yang bidang-bidang kerjanya sudah semakin terspesialisasi. Seperti diisyaratkan oleh sebutannya, penyunting naskah semata-mata berurusan dengan naskah, yaitu naskah dari segi bahasa. Ia tidak terlalu berurusan dengan isi konseptual naskah, satu soal yang boleh dibilang justru menjadi pokok perhatian, obyek garapan, seorang penyunting. Ia bekerja di bawah arahan penyunting, membantu mengoreksi kesalahan “kecil-kecil”, seperti tanda baca, salah ketik—termasuk ejaan—dari sebuah naskah yang sudah digarap oleh penyunting.[3] Saya kira istilah yang lebih mengena untuk “kopi editor” atau “penyunting naskah” adalah “korektor” saja. Istilah “editor naskah” di satu sisi mendorong kita berpikir, tentu ada editor-editor lain, yaitu editor non-naskah, entah apa sebutannya yang lebih tepat, namun pastilah tidak cukup bila diistilahkan secara ringkas dalam satu kata: “editor” atau “penyunting” di sisi lain. Editor dan korektor pada akhirnya terbedakan bukan oleh lingkup kerja—mereka pada dasarnya sama-sama berkutat memperbaiki bahasa sebuah naskah; jadi, bidang kerja mereka beririsan—melainkan oleh lingkup tanggung jawab mereka.

Saya hendak mengajukan pendirian bahwa sebenarnya bukan aturan tata bahasa yang membimbing seorang penyunting tatkala ia bekerja—aturan itu sebetulnya tidak lebih dari perangkat kerja belaka, sekalipun kerap berlaku, atau yang benar: diperlakukan, sebagai pedoman—melainkan pengertian-pengertian. Pokok garapan penyunting yang sesungguhnya adalah ide atau gagasan, bukan bahasa. Maka masuklah ia dengan asyik ke tubuh naskah dari awal hingga tuntas menelusuri cerita atau penyajian pengertian demi pengertian. Akibatnya, sepanjang dan sampai ia selesai bekerja, perhatian penyunting itu lebih banyak, atau malah sepenuhnya, tercurah ke isi daripada bentuk. Ia sudah terlena, sebab kelewat mementingkan ide dalam wacana dan tidak peduli benar pada pemakaian bahasanya. Pada titik ini, jelas si penyunting juga telah terkecoh oleh pandangan dia yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Di sini pandangan si penyunting tentang bahasa sedikit banyak ada pengaruhnya. Tidak penting bagi dia apakah sebuah kata ditulis dengan huruf besar atau kecil, sebab jauh lebih penting pembaca dapat mengerti. Atau sebaliknya, sikap abai terhadap kaidah bahasa sangat boleh jadi merupakan akibat dari pendirian yang mementingkan ide atau kandungan isi sebuah naskah.

Jangan-jangan, seperti sudah saya nyatakan di atas, memang tidak sedikit penyunting yang kerap terkecoh, karena terlampau dihantui kehendak menemukan maksud tertentu sebuah teks. Bila suatu ketika sang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia mungkin akan terdorong merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah naskah itu bersifat niscaya, bahwa penyunting harus meninggalkan coretan demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja. Boleh jadi sungguh tidak ia sadari, tatkala membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali—dengan berpedoman pada kaidah bahasa yang baku—sambil kemudian, dengan atau tanpa sadar, memasukkan pengertiannya sendiri, sebuah laku menafsirkan, yang bisa saja keliru, atau berbeda dari yang dimaksud oleh penulis.

Jangan pernah dilupakan, tubuh sebuah wacana tidak lain dari kumpulan ide yang saling berjalinan. Kesadaran akan hal ini sepatutnyalah mendorong seorang penyunting terus-menerus awas terhadap setiap pernyataan atau pemakaian suatu istilah yang barangkali menurutnya rada ganjil, entah karena setahu dia tidak bersesuaian dengan fakta atau karena ia sendiri tidak terlalu yakin. Tidak sulit menguji kebenaran tiap pernyataan atau data yang menimbulkan keraguan seperti itu, sebab kini sudah tersedia banyak sekali sumber rujukan, dari berbagai macam kamus, ensiklopedia, sampai situs-situs di internet. Penyunting, menurut hemat saya, punya kewajiban moral yang melarang dia membiarkan keganjilan seperti itu pada naskah yang akan diterbitkan atau disiarkan. Paling sedikit, ia dapat mempersoalkan satu perkara pada penulis manakala hal ini mungkin. Semua ini bukan lantas berarti seorang penyunting dapat mengendurkan kewaspadaannya akan pemakaian bahasa sebuah naskah yang tengah ia garap. Sebab, celakalah orang yang terlalu percaya pada bahasa, terutama kata-kata, bahkan di dalam tulisannya sendiri, antara lain karena sebuah kata sering berkhianat sehingga maksud dia gampang ditafsirkan lain.

Itu karena makna teks kerap hadir sebagai sesuatu yang cair, karena satu kata (seperti juga bentuk yang lebih luas, yaitu kalimat dan wacana) bisa punya beragam arti dan watak. Kata “kanan” dan “kiri” kita tahu menunjukkan orientasi arah, tapi dalam kenyataannya dapat merujuk pada haluan atau kelompok ideologi politik tertentu. Pada tataran wacana, manakala membaca sebuah tulisan, setiap orang akan punya penafsiran sendiri sesuai dengan kepentingan, latar sosial, taraf pengetahuan, tingkat kedewasaan, dan pengalaman membaca masing-masing. Sebuah tulisan dikatakan gelap, alias tidak dapat dipahami, terkadang bukan karena pembaca bodoh sebagaimana mungkin sekali dituduhkan oleh kalangan penulis, melainkan karena idenya dirumuskan dalam tulisan yang berbelit-belit.

Tadi saya katakan, sebuah kata sering “berkhianat” — ini sebetulnya tidak tepat benar. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin sebuah benda yang tidak punya nyawa, pikiran, dan kehendak, dapat berkhianat? Yang dapat dan memang cukup sering terjadi: di luar kendali atau kehendak kita, sebuah kata bisa saja menghantarkan makna yang tidak kita maui, yang tidak kita maksudkan seperti antara lain ditunjukkan oleh beberapa ilustrasi pada paragraf-paragraf di atas.

Kadang saya bertanya-tanya, sudah sedemikian jelekkah bangun bahasa Indonesia sehingga tak mampu lagi menjadi wadah yang baik bagi ide-ide penulis? Jika tidak, itu berarti para penulislah―termasuk penyunting, barangkali―yang enggan berkeringat di dalam menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia di dalam bahasa Indonesia. Tapi jika benar begitu, patut kita bertanya-tanya, apakah yang sudah dikerjakan para penyunting atau redaktur selama ini?

Kerja menyunting, sekali lagi, bagi saya menuntut bukan saja pengetahuan bahasa atau linguistik, melainkan juga pengetahuan berbahasa. “Pengetahuan bahasa” adalah pengetahuan teoritis tentang bahasa, yaitu pengetahuan mengenai ilmu bahasa serta teori dan kaidah-kaidah kebahasaan. Sedangkan “pengetahuan berbahasa” adalah sebuah kecakapan: bagaimana semua pengetahuan teoritis tentang bahasa diwujudkan, diterapkan, diejawantahkan dalam praktik. Fungsi seorang penyunting tidak berhenti pada pelurusan aspek-aspek bahasa belaka. Soal-soal “sipil” ini biasanya dianggap sebagai porsi untuk korektor. Sebab, soal paling genting adalah apakah ide penulis sampai ke pembaca persis seperti yang dimaksudkan oleh penulisnya. Dan benar, dalam arti valid, bersesuaian dengan fakta.

Tetapi, sekali lagi saya bertanya, apakah bila dikatakan bahwa penyunting mesti mengerti kaidah tata bahasa Indonesia, itu sekaligus berarti harus mematuhi kaidah itu? Di titik inilah kita bersua dengan “paradoks” dalam kerja menyunting.

Kalau boleh meringkaskan kembali, penyunting atau redaktur tidaklah melulu berurusan dengan tubuh sebuah naskah. Ia juga mesti menghiraukan kandungan ide di dalamnya sepanjang tidak menyangkut pandangan penulis. Tidakkah bisa saja terjadi, misalnya, seorang penulis keliru memahami sebuah teori, katakanlah tentang strukturalisme atau dekonstruksi? Itu kasus yang patut dipersoalkan seorang penyunting atau redaktur, bukan pandangan penulis. Sebab jika hal terakhir yang terjadi, ia sudah melakukan sensor di sana.

Mudah-mudahan kian menjadi teranglah, seorang penyunting atau redaktur, selain kemampuan bahasa, perlu mengembangkan, pertama, kemampuan berbahasa, sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan, melainkan juga apakah tulisan itu dapat dimengerti dan yang tak kurang penting, valid. Kedua, kepekaan akan adanya perbedaan antara “menyunting” dan “menyensor”.

Di dalam bekerja, seorang penyunting selalu berada di tengah medan ide atau pengertian yang silang-sengkarut. Di tengah keriuhan itu, sang penyunting yang baik akan selalu mencadangkan kecurigaan sewaktu menatah kalimat, menyingkap selubung makna, dan mengawasi serta merawat bangun kalimat sampai pada tataran wacana. Pengetahuan kebahasaan, dalam kenyataan, tak banyak menolong bilamana seorang penyunting berhadapan dengan isi, dengan ide, dan dengan persoalan-persoalan konseptual. Bukan teori linguistik yang ia perlukan di situ, melainkan pengetahuan mengenai materi, pokok soal, yang diketengahkan penulis. Termasuk, tentu saja, kepekaan terhadap soal-soal yang bersinggungan dengan etika. Di situlah letak tanggung jawab moral seorang penyunting atau redaktur.

Bekasi, 5 Maret 2010



[1] Makalah untuk disajikan dalam diskusi “Menyikapi Undang-Undang Bahasa”, Ballroom Gedung Kompas Gramedia Lt 7, Jalan Palmerah Barat No 29-37, Jakarta, 27 Maret 2010.

[2] Eko Endarmoko belajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Esai-esai dan kritik kontributor kolom “Bahasa!” majalah Tempo ini dimuat di berbagai media cetak. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Optimis (1983), redaktur pelaksana Berita Buku (Ikapi Pusat, 1987-1989), dan editor di penerbit Pustaka Utama Grafiti (1989-1997). Pada 1997 ia mulai bergabung dalam Komunitas Utan Kayu, yang kemudian menjelma Komunitas Salihara pada 2008. Akhir tahun 2006 terbit bukunya, Tesaurus Bahasa Indonesia.

[3] Lebih jauh, lihat Pamusuk Eneste, Buku Pintar Penyuntingan Naskah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), edisi kedua, 2005, khususnya Bab 2.

26 Maret 2010

Nuansa Makna

Kompas, Jumat, 26 Maret 2010 | 02:40 WIB

SAMSUDIN BERLIAN

Seluruh dan semua sama artinya, tetapi seluruh itu tunggal, semua jamak. Seluruh rumahku berarti rumahku yang semata wayang itu mulai dari fondasi goyah, dinding rapuh, pintu keriang-keriut, jendela berayap, sampai atap bocor, dari bagian luar kusam dan dalam kosong melompong sampai bagian depan kumuh dan belakang becek lecek. Semua rumahmu berarti rumah-rumah yang bertebaran di mana-mana yang Anda miliki tanpa kecuali, termasuk yang masing-masing ditinggali istri, menantu, dan mertua.

Itu sebabnya lazim kita dengar seluruh Indonesia. Ada Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia yang jarang berprestasi, ada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang kurang pamor, dan bisa saja anda bikin Ikatan Pemuda Klemar Klemer Seluruh Nusantara tanpa menimbulkan heboh dan rusuh. Namun, mana pernah Anda dengar semua Indonesia?

Cemburu dan iri sama-sama berkenaan dengan suasana hati antagonistik, tetapi obyeknya bertolak belakang. Anda cemburu berarti Anda ingin mempertahankan sesuatu yang Anda miliki. Anda iri atau dengki berarti Anda menginginkan sesuatu yang tidak Anda miliki. Itu sebabnya Anda cemburu ketika preman pinggir jalan memelototi istri Anda yang 10 tahun lebih muda itu, tetapi Anda iri melihat istri saya yang jelita, lemah lembut, kaya raya, dan rajin setia. Tak pernah Anda dengar seseorang mencemburui istri orang lain, kan? Kalau Anda iri terhadap istri sendiri, itu artinya bukan ada laki-laki ganteng sedang merayunya, melainkan dia baru saja diangkat jadi direktris, sedangkan Anda masih disuruh-suruh menyeduh kopi.

Hampir dan nyaris keduanya mengacu pada waktu sebentar lagi. Bedanya, hampir berkenaan dengan segala macam keadaan, sedangkan nyaris hanya dengan keadaan bahaya. Juga, hampir mengacu pada sesuatu baik yang akan ataupun tidak akan terjadi, sedangkan nyaris hanya untuk yang tidak terjadi. Saya bisa berkata, ”Dia sudah hampir lulus sarjana dengan predikat Cuma Paspasan”, ”Danu hampir mati dipukuli suami pacar gelapnya”; pokoknya hampir apa saja. Namun, saya hanya bisa berkata, ”Mantan bintang film guram itu nyaris gagal menjadi wakil rakyat”; tidak bisa, ”Fathuddin nyaris mendapatkan warisan harta karun”. Hampir secara emosional datar dan netral. Nyaris itu seru menegangkan karena dalam keadaan terpepet lolos dari ancaman bahaya.

Mengapa judul artikel ini ”Nuansa Makna”? Nuansa berarti perbedaan halus, seperti perbedaan antara seluruh dan semua, antara iri dan cemburu, antara nyaris dan hampir. Nuansa menjadi populer pada akhir 1970-an ketika lagu ”Nuansa Bening” dari Keenan Nasution menggebrak belantika musik. Tak ada orang tahu apa arti nuansa, tetapi semua orang ingin bergaya memakainya. Maka, dengan sulap bunyi-kata khas pemalas kamus, jadilah nuansa berarti suasana, yang dengan konyol masih dipakai orang di mana-mana dan selama lebih dari 15 tahun. Untung sudah sadar!

Samsudin Berlian Pencari Makna

25 Maret 2010

Dari Ramadhan dan Sha(o)lat ke Ramadan dan Salat: Telaah Serapan Bahasa Arab[1]

Abdul Gaffar Ruskhan Pusat Bahasa
1. Pendahuluan

Dalam bulan Ramadan kita banyak menemukan istilah agama Islam yang tentu berasal dari bahasa Arab. Misalnya, Ramadhan/Ramadhon/Ramadan, shalat/sholat/ salat, dzuhur/dhuhur/zuhur, shubuh/subuh, imsakiyyah/ imsakiyah/imsakiah. Istilah itu sejatinya merupakan istilah lama yang kemunculannya lebih kerap pada bulan puasa. Setiap datang bulan puasa, pemakai bahasa kadang-kadang bingung karena disodorkan istilah agama Islam yang penulisannya bervariasi. Variasinya itu lebih banyak lagi dalam media cetak. Penulis berita pun termasuk mereka yang bingung untuk menuliskan istilah bakunya di antara variasi itu. Karena itu, FBMM memilih topik tentang Ramadhan atau Ramadan dan Shalat/Sholat atau Salat.

Jika kita berbicara tentang istilah agama Islam, masalah yang timbul adalah apakah istilah itu harus kita tuliskan sesuai dengan lafal bahasa Arabnya. Sebuah istilah memang mengandung sebuah konsep yang tentu berkaitan dengan bidang yang diwakili oleh konsep itu berupa kata/istilah. Dalam agama Islam terdapat banyak konsep yang perlu dilambangkan dengan kata/istilah. Sebuah kata sebagai lambang sebuah konsep yang berkaitan dengan hal-hal keislaman dapat kita sebut istilah agama Islam.

Istilah agama Islam memang berasal dari bahasa Arab. Bahasa Arab, sebagaimana kita ketahui, memiliki bunyi dan lambang bunyi yang berbeda dengan bunyi dan lambang bunyi bahasa Indonesia. Lambang bunyi bahasa Arab kita kenal dengan huruf Arab yang ditulis dari kanan ke kiri di samping ada bunyi panjang (mad) yang membedakan makna. Karakter dan bunyinya berbeda dengan karakter dan bunyi bahasa Indonesia berupa huruf Latin. Karena itu, huruf Arab harus dialihhurufkan (ditransliterasikan) ke huruf Latin. Inilah yang memunculkan masalah dalam penulisan istilah agama Islam. Akibatnya, muncul berbagai bentuk transliterasi Arab ke Latin.

2. Transliterasi Arab-Latin

Ada beberapa bunyi bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Misalnya, huruf Å›a /Å›/ (Ø«), ÅŸad /ÅŸ / (ص), dad /d/ (ض), ta /t/ (Ø·), za /z/ (ظ), zal /z/ (Ø°), ha /h/ (Ø­), ain /’/ (ع), dan gain /g/ (غ). Di dalam transliterasinya, masing-masing dilambangkan ke dalam huruf Latin dengan bentuk yang berbeda. Pada transliterasi lama, kita akan menemukan huruf rangkap untuk melambangkannya. Misalnya, ts (Ø«), sh (ص), dh/dl (ض), th (Ø·), zh (ظ), dz (Ø°), ch (Ø­), dan gh (غ) atau dengan simbol, seperti ’ (ع). Transliterasi seperti itu masih bertahan sampai saat ini. Kemudahan untuk menggabung dua huruf untuk melambangkan sebuah bunyi dalam bahasa Arab merupakan salah satu alasan mengapa penulisan itu masih bertahan.

Pada tahun 1989 pemerintah sudah memikirkan masalah kebingungan masyarakat untuk mentranslierasikan huruf Arab-Latin. Akhirnya, pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 158/1989 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543/1989 mengeluarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin, yang prinsipnya setiap bunyi dilambangkan dengan sebuah huruf, kecuali yang sudah berlaku dalam EYD, seperti sy dan kh. Sementara itu, lambang untuk huruf yang selama ini menggunakan huruf rangkap disepakati dengan satu huruf ditambah tanda diakritik, baik di bawah maupun di atas huruf. Misalnya, huruf Å›a /Å›/ (Ø«), ÅŸad /ÅŸ / (ص), dad /d/ (ض), ta /t/ (Ø·), za /z/ (ظ), zal /ż/ (Ø°), ha /h/ (Ø­), ain /’/ (ع), dan gain /g/ (غ). Huruf itu digunakan secara resmi dalam penulisan kata yang ditransliterasi ke dalam bahasa Indonesia.

Perlu diingat bahwa pilihan untuk memberi tanda diakritik untuk mewakili beberapa bunyi bahasa Aab itu di samping tidak akan menimbulkan kesalahan dalam mengucapkannya juga akan memudahkan penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia. Kesalahan baca terjadi karena ada kemungkinan dua huruf itu akan dibaca menjadi dua huruf yang berbeda, seperti adzan, ashar, fatsal, dan nazhar akan dibaca ad-zan, as-har, fat-sal, dan naz-har. Padahal, dua huruf itu melambangkan satu bunyi. Karena itu, pelambangannya dengan satu huruf merupakan solusi yang terbaik, apalagi akan memudahkan penyerapan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan tidak memberi tanda diakritik, kata yang ditransliterasi akan menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia.

3. Keraguan antara Kata Serapan dan Transliterasi

Transliterasi hanya digunakan untuk mengalihhurufkan tulisan Arab ke tulisan Latin (Indonesia). Pada umumnya, penerapan transliterasi itu sesuai dengan kaidah masing-masing, baik kaidah yang digunakan oleh organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, maupun media massa. Yang perlu dipahami adalah bahwa kaidah transliterasi itu tidak lagi digunakan untuk menuliskan kata-kata maupun istilah yang terserap ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata misal, pasal, hadir, taat, sabar, izin, dan sahabat tidak lagi ditulis mitsal, patsal (fatsal), hadlir, tha’at, shabar, idzin, dan shahabat. Kata-kata itu tidak lagi kita pandang sebagai bahasa Arab walaupun asal-usulnya berasal dari bahasa Arab. Begitu pula, istilah subuh, zuhur, asar, magrib, Safar, Rabiulawal, Rabiulakhir, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah sudah merupakan istilah agama Islam yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia. Penulisannya jelas tidak dilakukan seperti shubuh, dzuhur, ashar, maghrib, Shafar, Rabi’ulawwal, Rabi’ulakhir, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulkaidah, dan Dzulhijjah. Jika penulisannya itu masih mempertahankan keaslihannya, berarti kata dan istilah itu masih kita anggap asing sehinga penulisan menggunakan huruf miring.

Untuk itu, ada baiknya disimak data dalam berbagai media massa seperti berikut.

(1) Jadwal Imsakiyah Ramadhan 2009/1430 H: Ramadhan, Imsak, Subuh, Syuruq, Ashar, Maghrib, Isya (Imsakiah Garuda Indonesia) dalam Kompas.

(2) Semarak Ramadhan: Tips Ramadhan, Puasa (Kompas, 26-8-2009:41)

(3) Mereka (Jusuf Kalla_Habibi) berada di Mekkah untuk menunaikan ibadah umroh, khususnya pada suci Ramadhan (Kompas, 26-8-2009:3).

(4) Ramadhan: Bulan Tarbiyah dan Investasi; Jadwal Imsakiyah: Imsak, Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya (Republika, 21-8-2009:1)

(5) Awal Bulan Qomariyah...; Sebagai contoh, pada 20 Agustus 2009 terjadi keadaan 2, puasa awal Ramadhan adalah 22 Agustus. Pada 19 September terjadi keadaan 3, hilal sekitar 6 derajat, maka 1 Syawwal jatuh pada 20 September. Terakhir 16 November terjadi keadaan 1, maka awal Dzulhijjah jatuh pada 18 November. (Republika, 21-8-2009:4)

(6) Lantaran itu, di kampungnya, Palembang, dia mengisi Ramadhan dengan hal-hal yang positif ... (Rakyat Merdeka, 27-8-2009:1)

(7) Pergerakan harga gula pasir di dikarenakan pasokan gula kurang dalam atu pekan memasuki bulan Ramadhan (Pos Kota, 29-8-2009:1).

(8) Hilal tidak Tampak, 1 Ramadan Besok (Media Indonesia, 21-8-2009:1). Bandingkan dengan iklan yang dimuat MI: Selamat Menunaikan Ibadah Puasa RAMADHAN 1430 H (MI, 21-8-2009:10)

(9) Gema Ramadan (Koran Tempo, 26-8-2009:B2). Bandingkan dengan ”Suasana Ramadhan di surau Alkaustar, Blora, Tetap semarak meski tanpa takjil”. (Koran Tempo, 26-8-2009:B2)

(10) Cahaya langit Dompet Dhuafa (Koran Tempo, 26-8-2009:B3)

(11) Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan kebijakan agar jam masuk kantor PNS dikurangi satu jam selama Ramadan (Koran Jakarta, 27-8-2009:17)

(12) Mereka (para PSK) tidak memedulikan bulan suci Ramadan (Warta Kota, 28-8-2009:7).

Media massa merupakan sarana pembinaan bahasa Indonesia yang memiliki jangkauan khalayak yang luas. Setiap kata ataupun istilah yang disajikan oleh media massa mestinya dapat dijadikan acuan bagi pembaca atau pemirsanya. Namun, kenyataanya masih banyak madia massa yang menyajikan kata atau istilah yang tidak mengikuti kaidah yang baku. Bahkan, tidak jarang data yang sama ditulis secara tidak konsisten dalam media yang sama. Data di atas mrupakan bukti bagi kita bahwa media massa masih banyak yang menulis istilah agama Islam yang keliru. Kata Ramadan ditulis dengan Ramadan (KJ dan WK), tetapi ada juga yang tidak konsisten yang adakalanya ditulis Ramadhan (MI dan KT). Ada pula yang menulis Ramadhan secara konsisten (seperti Kompas, Republika, RM, PK). Bahkan, nama progam Ramadan di setiap televisi masih menuliskan Ramadan dengan Ramadhan, seperti Gema Ramadhan, Inspirasi Ramadhan Metro TV), Cinta Ramadhan (JakTV).

Istilah lain seperti tarbiyah, imsakiyah, shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Syuruq, umroh, dhuafa, Syawwal, Dzulhijjah, dan Qomariyah masih menggunakan penulisan yang tidak baku. Seharusnya isilah itu dituliskan tarbiah, imsakiah (tanpa y), Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, syuruk (dengan k), umrah (bukan o), duafa, Syawal (satu w), Zulhijah (dengan z dan satu j), dan Kamariah (huruf k, bukan o, tanpa y).

4. Faktor Kesalahan dan Solusinya

Mengapa masyarakat masih saja menggunakan tulisan yang mendekati bunyi Arabnya yang dinyatakan dalam transliterasi? Ada beberapa alasan, menurut pandangan penulis, antara lain adalah sebagai berikut.

a. Kelaziman yang sudah melekat itu memang sulit dihilangkan sehingga tulisan yang sudah digunakan selama ini masih dipertahankan.

b. Keinginan kalangan agama Islam yang ingin mempertahankan keasliannya sehingga sebuah istilah atau kata yang berasal dari bahasa Arab diucapkan seperti bahasa Arabnya. Hal ini muncul dari kalangan yang berlatar belakang bahasa Arab atau santri.

c. Keinginan mempertahankan keasliannya karena ada anggapan bahwa kata Arab dengan huruf tertentu dapat membedakan makna jika diganti dengan huruf yang mirip, seperti ashar ’waktu petang’ dengan atsar ’bekas; jejak; hadis’. Kata qalbu ”hati’ dan kalbu ’anjing’.

d. Ada segi kemudahan menuliskan kata yang dianggap kearab-araban itu dengan huruf rangkap daripada huruf bertanda diakritik. Lambang yang terakhir itu masih belum banyak dimiliki oleh pengguna, termasuk belum ada dalam program komputer pada umumnya.

e. Ada kelompok masyarakat yang ”ikut-ikutan” menuliskannya dengan alasan mengikuti yang sudah ada tanpa ada usaha untuk mencari penulisan yang benar.

f. Ada kelompok yang tidak mau dikritik apabila ”berani” menuliskan kata atau istilah yang berbeda dari biasanya. Ini merupakan pengalaman penulis ketika menuliskan Ramadan tanpa h dalam rubrik yang penulis asuh sehingga Ramadan yang penulisannya sudah benar diubah menjadi Ramadhan.

Untuk mengatasi alasan itu ada beberapa hal yang perlu dipahami.

a. Setiap bahasa tidak luput dari pengaruh bahasa lain. Bahasa Indonesia cukup banyak menerima pengaruh dari berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab yang banyak menyumbangkan kosakatanya. Jika kata Arab itu sudah menjadi khazanah bahasa Indonesia, kata itu harus tunduk ke dalam kaidah bahasa Indonesia, termasuk penulisan istilah.

b. Jika sebuah kata/istilah yang langsung diambil dari bahasa Arab, artinya belum pernah digunakan selama ini, langkah awal adalah mentransliterasikannya. Transliterasi yang digunakan adalah transliterasi resmi, yakni menggunakan prinsip satu bunyi dengan satu huruf yang diberi tanda diakritik. Penulisan selain itu akan tetap membingungkan pembaca. Kata ashar dan adzan akan membingungkan karena akan dibaca as-har dan ad-zan. Apalagi, kata-kata itu tidak perlu lagi ditransliterasi, tetapi ditulis sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia.

c. Pusat Bahasa bersama dengan pakar agama Islam, baik dari akademisi, wakil lembaga keislaman, ahli bahasa telah menyepakati bahwa istilah agama Islam yang berasal dari bahasa Arab diindonesiakan dengan mengikuti ejaan bahasa Indonesia. Misalnya, salat, tausiah, raksumal ’modal’, tablig, mukhatarah ’risiko’ tidak ditulis shalat, taushiyyah, ra’sumaal ’modal’, tabligh, mukhatharah.

d. Bahasa mengenal bahwa sebuah kata dapat memiliki makna yang berbeda, yakni homonimi. Kekhawatikan makna yang berbeda itu tidak perlu terjadi karena mau tidak mau bahasa apa pun akan mencatatnya sebagai kosa kata yang berbeda. Bandingkan dengan kata hak yang memiliki berbagai makna yang tidak ada hubungan antara yang satu dan yang lain.

e. Perlu ada kesadaran dan keberanian untuk menuliskan istilah agama Islam yang disesuaikan dengan kaidah ejaan bahasa Indonesia; apabila diperlukan, dapat diikuti dengan translirerasinya yang dituliskan dengan huruf miring. Keragu-raguan penulisan terhadap sebuah istilah menandakan tidak adanya keberanian pengguna untuk menentukan istilah yang baku.

f. Pengadaan program lambang huruf (font) transliterasi Arab-Latin yang resmi perlu dilakukan agar memudahkan pengguna memilih lambang huruf yang diharapkan.

Upaya yang dilakukan untuk menuliskan kata/istilah agama Islam dalam bahasa Indonesia merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, terutama oleh media massa. Masalah yang muncul selama ini dapat diatasi dengan beberapa solusi yang dikemukakan di atas. Dengan demikian, pengguna, khususnya media massa, dapat menuliskan kata atau istilah itu secara taat dan konsisten.

5. Penutup

Penyerapan kata/istilah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dimaksudkan untuk memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Kata/istilah bahasa Arab yang belum terserap dapat dituliskan dengan menggunakan transliterasi Arab-Latin. Untuk itu, ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian pengguna bahasa Indonesia, khususnya kalangan media massa.

a. Dalam madia massa penggunaan kata serapan bahasa Arab tidak dapat dihindari, terutama istilah agama Islam. Penulisan kata atau istilah itu perlu berpedoman kepada kaidah yang baku agar pembaca atau pemirsa tidak bingung. Karena itu, kata seperti Ramadan, salat, subuh, zuhur, Asar, Magrib, tarbiah, imsakiah, syuruk, umrah, duafa, Syawal, Zulhijah, dan Kamariah merupakan istilah baku yang perlu disosialisasikan.

b. Penulisan transliterasi hanya berlaku untuk mengalihkan huruf Arab ke dalam huruf Latin (Indonesia). Hasil transliterasi itu ditulis dengan menggunakan huruf miring karena dianggap kata asing. Transliterasi tidak berlaku pada kata umum dan istilah agama Islam yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia.

c. Kesadaran bahwa kata atau istilah apa pun yang digunakan dalam masyarakat bahasa akan berintegrasi dengan bahasa tersebut sehingga kata dan istilah itu akan tunduk kepada kaidah bahasa yang bersangkutan.

d. Kalangan keagamaan perlu memiliki keikhlasan agar kata Arab yang digunakan sebagai kata umum dan istilah tidak lagi milik bahasa Arab, tetapi sudah menjadi milik pengguna bahasa Indonesia sehingga penulisannya mengikuti kaidah bahasa Indonesia.

e. Semua media massa, baik cetak maupun elektronik, perlu menyepakati penulisan kata dan istilah Arab yang baku dalam media masing-masing agar peran media massa sebagai sarana pembinaan bahasa Indonesia terwujud.


Daftar Pustaka

Anttila, Raimo. 1972. An Introduction to Historical and Comparative Linguistics. New York: MacMillan.

Badudu, J.S. 1991. "Pengaruh Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia". Makalah dalam "Konferensi dan Musyawarah Nasional VI Masyarakat Linguistik Indonesia. Semarang.

Baried, Siti Baroroh. 1982. "Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia". Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Emzir. 1994. "Perubahan Makna Kosa Kata Bahasa Indonesia yang Berasal dari Bahasa Arab". Dalam majalah Nadi'l-Lughah al Arabiyyah. Malang.

Hasjmi, A. 1993. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Almaarif.

Moeliono, Anton M. 1968. "Masalah Asli dan Asing dalam Bahasa Indonesia. Dalam Anton M. Moeliono. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: Gramedia.

Ruskhan, Abdul Gaffar et al. 2002. Pungutan Padu dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

---------. 2005. “Unsur Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonsia”. Makalah dalam Seminar FBMM, 28 Oktober 2005, Gedung Bentara Budaya, Kompas

---------. 2007. Bahasa Arab Dalam Bahasa Indonesia: Kajian Pungutan Bahasa. Jakarta: Grasindo.

Weinreich, Uriel. 1953. Languages in Contact: Findings and Problems. The Hague: Mouton.

Lampiran

DAFTAR KATA BAKU SERAPAN BAHASA ARAB

Nonbaku Baku

adzan azan

afdhal afdal

aliyah aliah

ashar asar

aqad akad

aqidah akidah

aqiqah akikah

ashar asar

azas asas

bai’at baiat

baitulmaal baitulmal

baligh balig

bathin batin

dhaif daif

dharuri daruri

dhuzur zuhur

dhuafa duafa

do’a doa

dzikir zikir

Dzulqaidah Zulkaidah

Dzulhijjah Zulhijah

Fadhilah fadilah

fithrah fitrah

fuqaha fukaha

fiqh fikih

haqiqat/hakekat hakikat

ibtidaiyah/ibtidaiyyah ibtidaiah

Idul Adha/Aidul Adha Iduladha

Idul Fitri/Aidul Fitri Idulfitri

imsakiyah imsakiah

infaq infak

intifadhah intifadah

istighfar istigfar

istighasah istigasah

iqamat ikamat

Isro’ Mi’raj Isra Mikraj

istihadhah istihadah

jahiliyah jahiliah

Ka’bah Kakbah

lafadh lafal

maghrib magrib

maghfirah/maghfiroh magfirah

Makkah/Mekkah Makah

Medinah Madinah

ma’rifat makrifat

maghfirah/maghfiroh magfirah

maghrib magrib

muadzdzin muazin

Muharram Muharam

mustahiq mustahik

muzakki muzaki

nash hadits nas hadis/teks hadis

nadhar nalar

Qomariyah/Qamariyyah Kamariah

ra’sul maal raksulmal

Rabi’ul Awwal Rabiulawal

Rabi’ul Akhir Rabiulakhir

Ramadhan Ramadan

ru’yah rukyah

shadaqah/shodaqah sedekah

Shafar Safar

Shahabat sahabat

shalat/sholat salat

shalat dhuha salat duha

shabar/shobar sabar

shaleh/sholeh saleh

shubuh subuh

sunnah sunah

Sya’ban Syakban

syari’ah/syar’iyyah/syareat syariah

Syawwal Syawal

syuruq syuruk

tha’at/thoat taat

tsanawiyyah sanawiah

tabayyun tabayun

tabligh tablig

tadzkirah tazkirah

talbiyah talbiah

taushiyah tausiah

tayammum tayamum

ummat umat

umroh umrah

ustadz ustaz

wassalam wasalam

zhahir lahir

zhalim zalim

zhihar zihar

zhuhur zuhur



[1] Makalah yang disajikan dalam Seminar Forum Bahasa Media Massa, 8 September 2009, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanegara, Jakarta