17 Juni 2008

Keseragaman Istilah Antarmedia, Kenapa Sulit?

Catatan Kaki Martin Moentadhim S.M.*

ANDA MAU jawaban ringkas atau berbelit-belit? Bila ringkas, Anda harus menerima kenyataan bahwa bahasa itu kesepakatan semata-mata. Di dalam kesepakatan, unsur yang sangat menonjol ialah subjektivitas. Lho, bukankah ada kaidah bahasa? Subjektivitas dimaksud apakah itu?

Mari kita jawab satu per satu. Yang pertama tentang subjektivitas dulu. Meskipun secara tertulis dalam bentuk buku langgam (style book) belum semua media, baik cetak maupun elektronik, memilikinya, dapat dikatakan semua media massa memiliki apa yang disebut kebijakan editorial (editorial policy).

Di dalam kebijakan inilah, justru para editor bebas menentukan kebijakan berbahasa di dalam medianya masing-masing. Bisa saja mereka akan memilih memakai semua kaidah bahasa, baik yang ada sebelum Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B) lahir maupun sesudahnya (baca: kaidah baru produk P3B). Namun, kebanyakan mereka justru menciptakan pengecualian, di antaranya agar medianya tampil beda.

Contoh paling populer ialah kaidah peluluhan terhadap kata dasar yang berhuruf awal k, p, t, dan s saat dibentuk dengan imbuhan menjadi kata jadian. Yang terlepas kaidah ini tentu saja kata jadian yang jelas-jelas dikecualikan, misalnya kata “mempunyai” yang dianggap terbentuk dari kata dasar “empunya” yang mendapatkan awalan “me” dan akhiran “i”. Jadi, Anda tidak mungkin memakai kata “memunyai”.

Akan tetapi, salah kaprah yang lazim justru bersitahan. Beberapa media cetak, misalnya Tempo, mengambil keputusan untuk tetap menggunakan kata “mempesona” dan tidak meluluhkannya menjadi “memesona”. Alasan bisa dicari-cari, seperti rasa bahasa dan kata dasar “pesona” terdiri atas tiga suku kata. Padahal, kaidah hanya mengecualikan kata dasar yang hanya terdiri atas satu suku kata.

Lebih dari itu, ada linguis, misalnya lulusan Universitas Indonesia (UI), yang bersikukuh bahwa tugas ahli bahasa ialah mencarikan alasan bagi fenomena bahasa yang lazim digunakan oleh masyarakat awam, sekalipun itu merupakan salah kaprah. Contoh ekstrem dari kasus ini ialah mayoritas umat Islam menggunakan kata “pewaris” dalam arti “pihak yang menerima warisan”, padahal KBBI jelas-jelas menentukan bahwa penerima warisan itu “ahli waris” atau “waris” itu sendiri.

Contoh lain yang heboh ialah istilah geografis nama negara yang dulu kita sebut Tiongkok. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menggunakan kata “China” (baca: Caine), baik tertulis maupun lisan, orang pun ramai-ramai memakai kata “China” dengan “c” ber-“h”. Padahal, KBBI menyodorkan satu pilihan: “Cina”, tanpa “h”.

Alasan di balik ini adalah permintaan negara yang bersangkutan. Dulu, wewenang untuk menentukan istilah geografis berada di tangan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Tetapi, belakangan, Departemen Dalam Negeri juga membikin daftar dan kaidah sendiri. Lebih dari itu, P3B, melalui KBBI, juga membuat daftarnya sendiri.

Dengan kata lain, kaidah pun sering kali tidak berwibawa dan tidak mampu mengikat pemakai bahasa. Di dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), singkatan istilah “perseroan terbatas” ditetapkan ditulis tanpa titik menjadi PT, tetapi sampai kini ada yang menulis P.T. dan kebanyakan bahkan menulis PT. Cara menulis yang terakhir ini jelas salah kaprah tanpa kaidah.
Kesalahan yang lebih unik ialah singkatan nama orang. Misalnya ada penulis bernama Artini Soeparmo. Dia terbiasa menulis namanya Artini.S, alih-alih dari Artini S. Repotnya, gaya yang melanggar kaidah ini mewabah, karena Dra. Artini Soeparmo dulu rajin menulis dan tulisannya yang dirilis Kantor Berita Antara pantas dikutip banyak koran, karena isinya rata-rata bagus.
Padahal, dulu, kaidah dan sistem penentuan istilah pernah berjalan baik dan berwibawa. Misalnya, mana yang benar: Tanjung Periuk, Tanjungperiuk, Tanjung Priuk, Tanjungpriuk, Tanjung Priok, atau Tanjungpriok? Waktu itu, Bakosurtanal, didorong oleh masyarakat maritim internasional, yang menuntut perlunya keseragaman nama geografis dalam peta pelayaran, memutuskan pemakaian kata Tanjung Priok. Nama yang ditulis sebagai dua kata ini pun digunakan secara internasional tanpa ada yang protes sampai sekarang.

Lantas, apa peran yang pernah diambil FBAM yang kemudian menjadi FBMM dalam masalah ini? FBAM, misalnya, pernah mencetak kesepakatan untuk menggunakan nama “Moskwa” untuk ibu kota Uni Soviet saat itu. Alasannya negara USSR saat itu menggunakan kata tersebut seperti terbukti dalam nama Radio Moskwa yang siaran dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, meski banyak duta media yang hadir pada rapat/diskusi FBAM saat pengambilan kesepakatan itu, hanya Kompas yang menggunakan nama Moskwa, ditambah satu orang redaktur di Kantor Berita Antara.
Tak pelak lagi, dibutuhkan kaidah bahasa yang berwibawa dengan sesedikit mungkin pengecualian agar tercapai, tidak hanya keseragaman istilah antar-media massa, melainkan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan berwibawa pula.

Teluk Bukit Merah Permai, Bekasi Jaya, Tuesday, June 17, 2008.10:05.
* Penulis ikut merintis dan mendirikan Forum Bahasa Antar-Media (FBAM), yang kemudian dikukuhkan sebagai organisasi longgar Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

5 komentar:

Anonim mengatakan...

memang, hanya segelintir orang yang memahami bagaimana cara penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan EYD..misalnya saja untuk awalan di, ke, dan dari..masih banyak orang yang belum memahami cara penulisan 'di' yang disambung dan 'di' yang dipisah..hal ini merepotkan saya yang kebetulan pernah bertugas untuk mengedit laporan dalam jumlah yang banyak..mungkin sebagian orang menganggap ini bukan masalah besar dan menganggap tanpa diperbaiki pun tidak jadi masalah..Pada akhirnya, saya terpaksa mengabaikan kesalahan tersebut karena waktu untuk mengedit hanya sedikit dan menyerahkan hasil koreksi dengan perasaan tidak puas..

yanwardi mengatakan...

Sebagai lulusan FSUI, saya tergerak untuk mengometari opini Anda dalan alinea "Lebih dari itu, ....". Dalam alinea tersebut, Anda seolah-olah berpendapat linguis lulusan UI setuju dengan gejala bahasa yang salah. Untuk mendukung opini itu, Anda hanya menyodorkan kata "pewaris" yang merujuk pada makna 'ahli waris'. Perlu diketahui, kami, lulusan FSUI, tidak ada yang setuju apalagi menganjurkan kata "pewaris" dengan makna'ahli waris'. Pewaris jelas bentuk turunan dari kata "yang mewariskan".

Yang perlu digarisbawahi, kalau kami mencari jawaban atas fenomena kebahasaan-yang salah kaprah, bukan berarti kami menyetujui kesalahkaprahan. Kami hanya memandang gejala kebahasaan dengan lebih deskriptif, tidak normatif.

Anonim mengatakan...

Bagaimana Bahasa Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri apabila masyarakatnya saja tidak peduli

Anonim mengatakan...

Permasalahan penggunanaan Bahasa Indonesia bagi media massa memang seolah terkesan rumit jika banyak media massa yang bersangkutan harus dihadapkan pada dua pilihan yang berat yakni kepentingan publik atau kepentingan komersial. Semoga dengan terbentuknya FBMM mampu menjembatani berbagai kepentingan yang ada serta dapat membawa angin segar bagi eksistensi Bahasa Indonesia di Tanah Air namun tentu saja tanpa mengesampingkan unsur komersial sebagai urat nadi demi kelangsungan sebuah media pemberitaan.

Anonim mengatakan...

Setiap bahasa memiliki kehasan dan banyak kekecualiannya. Ada teori yang mengatakan mengapa satu kata tidak muncul, karena dia telah ter-blok oleh kata yang muncul kemudian. Jadi seperti kata pesona, kenapa harus menjadi memesona ketika diimbuhi me-. Kata memesona sudah terblok oleh kata mempesona. Kenapa tidak menganggap ini sebagai sebuah kekecualian? Lagi pula tidak ada bahasa yang seratus persen konsisten dengan aturannya sendiri. Karena itu, saya sama tidak setuju dengan upaya penyeragaman me+punya jadi memunyai--yang kalau ditinjadi dari sisi fonetik juga kurang enak diucapkan. Kita harus memahami bahwa bahasa dapat berkembang dan menghidupi diri sendiri.