28 Maret 2010

Menunggu Titik dari Presiden [1]


Oleh T.D. Asmadi Ketua Umum Forum Bahasa Media Massa (FBMM)

Barangkali ketika DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 dan kemudian Presiden menandatanganinya menjadi Undang-Undang pada tanggal 9 Juli 2009, sebagian pencetus gagasan, penyusun, dan penggerak untuk terciptanya undang-undang tersebut berlega hati. Akhirnya, perjuangan untuk adanya undang-undang tentang bahasa gol juga. Begitu mungkin yang ada di hati mereka. Indonesia memang akhirnya memiliki undang-undang bahasa, sama dengan beberapa negara lain, seperti Prancis.

Terus terang, sebagai orang yang sejak 39 lalu—ketika pertama kali menjadi wartawan—berkutat dengan bahasa, saya pun lega: akhirnya ada satu pegangan berkaitan dengan bahasa. Wartawan memang sewajarnya gembira karena kini ada naungan undang-undang untuk bidang yang mereka geluti tiap hari. Wartawan adalah profesional yang paling banyak bergulat dengan bahasa Indonesia—tiap hari mereka menyusun kata-kata menjadi informasi untuk khalayak—sehingga wajar jika bergembira dengan ‘ketetapan’ tentang bahasa ini.

Namun, di samping kegembiraan itu, muncul juga butir-butir kekecewaan. Misalnya, mengapa undang-undang tentang bahasa disatukan dengan tentang bendera dan lagu kebangsaan? Bahasa adalah masalah yang lebih menyentuh karakter dan budaya bangsa sehingga sepatutnya ada dalam undang-undang tersendiri. Bahasa adalah ‘makhluk’: yang terus berkembang, yang terus diperbincangkan orang, dan tentu saja karenanya tidak sama dengan bendera Merah Putih kita atau Lagu Kebangsaan kita. Bukankah kedua ‘mitra’ di UU No. 24 Tahun 2009 itu sejak Kemerdekaan kita tetap yang itu saja (dan ini menunjukkan betapa ‘saktinya’ kedua hal itu), sedangkan bahasa terus berubah?

Meskipun demikian, betapapun undang-undang tentang bahasa sudah ada. Jadi, kita pun pantas menghargainya.

Belum Titik

Sebagaimana undang-undang yang lain, Undang-Undang No 24 Tahun 2009 masih memerlukan banyak hal untuk menjadi satu aturan yang bisa dilaksanakan. Ibarat kalimat, ia masih pada tanda baca ‘koma’. Perlu tindakan-tindakan lain agar menjadi kalimat sempurna yang diakhiri dengan titik. Salah satunya diamanatkan oleh undang-undang itu sendiri, yaitu pada Pasal 40. ”Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimakssud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.”

Jadi, meskipun pada pasal-pasal itu bahasa Indonesia wajib digunakan dalam banyak hal—pidato resmi pejabat negara, pengantar dalam dunia pendidikan, pelayanan adminsitrasi publik, perjanjian dengan negara lain yang melibatkan lembaga negara dan swasta, forum nasional dan internaional di Indonesia, komunikasi resmi di lingkungan pemerintah dan swasta, laporan perseorangan kepada lembaga negara, penulisan dan karya ilmiah di Indonesia, nama geografi Indonesia, informasi tentang produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia, rambu, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan informasi di media massa—tetap saja perlu ada peraturan lain untuk ‘menguatkan’ atau ‘menerjemahkannya’ dalam kehidupan sehari-hari.

Ambil contoh kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam ‘forum nasional dan internasional di Indonesia’ (Pasal 32). Berkaitan dengan itu, tepatkah penamaan ‘National Summit’ untuk pertemuan kalangan pemerintah dan swasta pada tanggal 29 Oktober tahun lalu—hanya satu hari setelah peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda? Apakah penggunaan istilah asing itu dibenarkan karena sesuai dengan amanat Pasal 40 belum dilaksanakan, Presiden belum mengeluarkan peraturan untuk hal itu ?

Ambil juga soal nama tempat yang dalam UU tersebut diatur pada Pasal 36. Untuk soal ini pun kita—maksudnya media—masih terus bergulat dengan berbagai ketentuan yang ada. Ambil contoh yang paling gampang, nama-nama tempat di Jakarta. Bagaimana menulis nama tempat yang menjadi lokasi kita sedang berbincang ini: Palmerah, Paalmerah, atau Paal Merah? Lihatlah petunjuk di Jalan Cileduk Raya, di sekitar Seskoal. Dua dari tiga nama itu ada pada petunjuk yang dibuat oleh pemerintah (daerah). Media harus mengikuti yang mana?

Atau, bagaimana menulis nama daerah istimewa di Jawa: Yogyakarta seperti selama ini dikenal ini, atau Jogjakarta, yang dikenalkan tahun-tahun terakhir ini dan juga dipakai pada masa kolonial Belanda? Konon, perubahan menjadi ‘Jogjakarta’ untuk tujuan pariwisata, agar enak diucapkan oleh wisatawan asing. Manakah di antara keduanya ‘yang Indonesia’, yang harus diikuti media?

Lalu, juga bagaimana menulis nama kota yang berada dalam jalur selatan Jawa tengah: Purbalingga atau Purbolinggo? Kutaarja (atau bahkan Kutaardja) atau Kutoarjo?

Di luar Jawa tentu saja lebih banyak lagi masalah agar sebuah tempat (kota atau kabupaten) bisa disebut ‘berbahasa Indonesia’? Apa nama Indonesia-nya untuk sebuah ‘kota’ oleh penduduknya ‘Sungailandih’: Sungailendir? Tentu konotasi nama yang ‘Indonesia’ itu akan sangat lain jika diucapkan di luar tempat aslinya atau, bahkan, di Sumatera barat sendiri, tempat daerah itu berada.

Inti dari persoalan itu adalah: pemerintah perlu menetapkan nama-nama resmi semua daerah di Indonesia, entah itu kabupaten, kota, kecamatan, desa, kelurahan, dan juga pulau-pulau. Media massa dengan demikian tinggal menuruti ketetapan pemerintah itu.

Lalu, tentang nama bangunan atau gedung, jalan, permukiman, dan lain-lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 36. Dulu dengan senang hati kami menulis Balai Sidang Jakarta. Kini, panitia setiap acara apa pun menyebut tempat itu Jakarta Covention Centre dan orang pun semua beralih ke situ. Tentu masih banyak lagi nama yang bisa disebut untuk hal itu. Salah satunya kalau kita ke Serpong. Sampai sekarang orang menyebut singkatannya BSD untuk Bumi Serpong Damai. Namun, papan besar masuk ke kawasan itu berbunyi ”BSD City”.

Bagaimana media menulis nama itu?

Unsur lokal

Bahasa Indonesia dari sudut nasional sudah selesai. Ia sudah menjadi bahasa negara seperti ditetapkan UUD dan dipergunakan oleh rakyat kita dari Sabang sampai Merauke. Bahasa kita ini lebih baik dibandingkan dengan bahasa nasional di India, Ukraina, Aljazair, bahkan di Amerika Serikat. Di sini kita akan dapat berhubungan dengan siapa pun di pelosok Tanah Air dengan bahasa Indonesia.

Hanya saja, ada hal lain yang menarik: unsur lokal, baik penulisan maupun pelafalan, sangat memberi warna pada bahasa kita ini. Unsur lokal ini dapat muncul pada media apa pun, baik media dalam ruang maupun luar ruang—berupa spanduk, baliho, pamflet, dan lain-lain—atau lebih-lebih media massa.

Sebuah surat kabar di Medan menulis dengan judul “Jalan Tol Cipularang Amblas” ketika tanah pada beberapa ruas jalan tol yang menghubungkan Jakarta–Bandung itu, turun. Media lain di luar Medan—mungkin juga luar Sumatera—menulis dengan ‘ambles’. Kedua kata, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi terakhir, 2008) berasal dari bahasa Jawa itu, memang berdekatan sekali pengucapan dan penulisannya. Meskipun artinya sangat berbeda.

Jarangnya, atau tiadanya, kata dengan suku kata akhir berbunyi ‘e..’ di Medan, dapat menjadi sebab kesalahan pengertian itu. Sama dengan olok-olok bahwa orang-orang Jawa selamanya tidak dapat masuk ITB atau IPB karena para calon mahasiswa akan selalu menyebut Institut Teknologi Mbandung yang singkatannya ITM. Atau, orang-orang Sunda yang menuduh orang lain ‘mempitnah’ mereka seakan-akan tidak bisa mengucapkan secara tepat kata yang ada huruf ‘f’ atau ‘v’. Untungnya, baik orang Jawa maupun orang Sunda tetap menulis sesuai dengan kata aslinya.

Unsur lokal ini tampak di sejumlah kota Indonesia, mulai Jayapura, Ambon, Yogyakarta, Pekanbaru, sampai Banda Aceh. Sebuah papan informasi di tempat buang air di bandara Jayapura berbunyi “Mari JANG TUNDA lagi, jaga diri deng orang yang tong sayangi”. Lalu kalimat berikutnya berbunyi “Tong sayangi tong pu pasangan atau keluarga? Hindari HIV dan AIDS, berganti-ganti pasangan bawa risiko celaka di tong pu hidup”.

Di Maluku juga ada kata-kata lokal pada ‘papan reklame’. Jika keluar dari Bandara Pattimura dan menuju Kota Ambon, akan tampak sebuah peringatan yang dipasang di sebelah kiri jalan. Bunyinya “Basudara, Jang Ngebut Nanti Cilaka”. Jelas ini bahasa Indonesia versi lokal Maluku.

Di Pekanbaru, papan nama dinas provinsi bertuliskan huruf Arab di bawah yang bertuliskan huruf Latin. Di Yogyakarta, papan nama jalan bertuliskan huruf Jawa di bawahnya. Di Bandung, beberapa papan nama jalan juga bertuliskan huruf Sunda.

Di antara ‘bahasa-bahasa Indonesia’ di luar ruang itu mana yang bahasa Indonesia? Atau, hal itu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memang didukung bahasa daerah? Atau, itu merupakan salah satu penjabaran Pasal 42 yang mewajibkan pemerintah daerah untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa daerah?

Masuknya unsur lokal dalam bahasa Indonesia ini sangat kentara dalam media massa. Selain contoh di Medan, banyak contoh lain muncul. Di Yogyakarta, kata ‘geruduk’ selalu dipakai jika menggambarkan orang banyak mendatangi seseorang yang dianggap berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan orang banyak. Sebuah koran, bahkan bingung menulis ‘geruduk’ atau ‘gruduk’. Dalam bahasa Jawa, kata itu berarti ‘mengejar beramai-ramai’ yang tentu berbeda dengan ‘geruduk’ atau ‘gruduk’ yang ditulis di koran.

Kata-kata itu ternyata belum masuk KBBI, meski sudah sering muncul di media massa, baik yang di daerah Jawa maupun yang nasional.

Di Cirebon, koran setempat memunculkan kata ‘oncog’ yang mungkin artinya ‘mendatangi dengan rasa marah yang tinggi’ (ini makna dari saya, lho).

Di Bandung ada ‘cileuncang’ yang artinya banjir (air menggenang dengan besar) karena selokan atau drainase tertutup. Sama dengan ‘rob’ yang artinya banjir karena pasang naik air laut. Dulu ‘rob’ hanya dikenal di Semarang, tetapi kini sudah juga beredar di Kompas karena ada ‘rob’ di pantai utara Jakarta.

Di Aceh ada kata ‘gacok’ sebagai ganti ‘joki’ (yang ikut ujian untuk orang lain).

Setelah koma

Begitulah memang banyak sekali yang harus dilakukan agar Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 ini, terutama tentang Bahasa, dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Peraturan presiden perlu diterbitkan agar jelas soal kewajiban menggunakan bahasa Indonesia ini. Peraturan pemerintah juga perlu dikeluarkan untuk melaksanakan pasal-pasal tertentu.

Undang-undang itu masih belum titik, baru sampai koma. Setelah koma masih banyak yang harus dilakukan oleh siapa saja. Media massa perlu terus bersama-sama ‘menyatukan pelafalan dan penulisan’ bahasa Indonesia yang tepat agar masyarakat tidak bingung. ‘penyatuan’ ini merupakan salah satu tujuan berdirinya Forum Bahasa Media Massa (FBMM). Usaha ‘menyatukan’ ini di samping perlu selalu diingat oleh media massa sendiri, juga menghendaki dukungan lembaga bahasa dan pakar bahasa.

Tanpa ‘penyatuan’ barangkali suatu saat, orang Aceh harus membawa kamus bahasa Jawa–Indonesia, jika berkunjung ke Yogyakarta atau Jawa Tengah. Dan orang Makassar harus pula membeli kamus bahasa Sunda–Indonesia jika berkunjung ke Bandung lalu membeli koran Pikiran Rakyat.

Tentu akan lebih baik jika di seluruh Indonesia mobilitas orang tidak terganggu oleh bahasa karena perbedaan bahasa Indonesia yang ada di tiap daerah.

Presiden dapat memulai langkah itu dengan melirik undang-undang ini dan menerbitkan peraturan yang sesuai dengan tugasnya. Sebenarnya, Presiden juga perlu langsung membawahkan lembaga bahasa (dan bukan menteri seperti yang dicantumkan dalam undang-undang itu) sehingga perkembangan bahasa Indonesia langsung maju ke pusat pemerintahan.

Jangan lupa banyak harapan dan komentar dari orang luar bahwa bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional karena berbagai karakteristik yang ada pada bahasa kita itu. Tentu saja, bagian dalam diri kita sendiri dulu yang perlu diperbaiki untuk melangkah ke arah itu.

Jakarta, 26 Maret 2010

Disampaikan pada seminar “Menyikapi Undang-Undang Bahasa” tanggal 27 Maret 2010 di Gedung Kompas-Gramedia Jakarta.


[1] Disampaikan pada seminar “Menyikapi Undang-Undang Bahasa” tanggal 27 Maret 2010 di Gedung Kompas-Gramedia Jakarta.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih sudah membagikan makalah ini untuk dibaca publik. Sangat bermanfaat.