27 Mei 2008

Bahasa (Masihkah) Menunjukkan Bangsa?

Oleh Tendy K. Somantri

Abstrak

Bahasa menunjukkan bangsa! Masih berlakukah ungkapan itu? Pada umumnya, masyarakat menganggap ungkapan itu masih berlaku. Akan tetapi, saya berpendapat lain, setidaknya untuk bahasa Indonesia. Kini, bahasa Indonesia tak bisa lagi menunjukkan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia tak bisa lagi menunjukkan karakter bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan – sebagai pembersatu bangsa – sudah tak lagi sesuai dengan karakter bangsa. Hal itu terjadi bukan karena perubahan karakter bahasa melainkan karena perubahan karakter bangsa.


Bahasa menunjukkan bangsa. Ungkapan yang hidup dari masa ke masa dan seolah tak terbantahkan. Masyarakat berpendapat, orang yang berbahasa Indonesia tentu orang Indonesia. Orang yang berbahasa Prancis adalah orang Prancis, orang yang berbahasa Belanda pasti bangsa Belanda. Benarkah demikian? Sepintas, kita bisa membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, bila kita lihat lebih jauh, dengan mudah pula pendapat itu kita patahkan.

Mari kita ajukan pertanyaan, benarkah bahasa Inggris hanya digunakan oleh orang Inggris? Tidakkah ada bangsa lain yang menggunakan bahasa Belanda – selain bangsa Belanda – sebagai bahasa nasional mereka? Apakah bangsa-bangsa di Amerika Latin yang menggunakan bahasa Spanyol dan Portugis bisa disebut bangsa Spanyol dan bangsa Portugis? Orang Amerika, walaupun menggunakan bahasa Inggris, pasti tidak akan mau disebut sebagai bangsa Inggris. Jadi, masihkah bahasa menunjukkan bangsa?

Konon, bahasa itu menunjukkan jatidiri bangsa. Hal itu ditunjukkan oleh karakter dan sikap berbahasa suatu bangsa. Misalnya, orang Inggris dikenal angkuh dan itu tercirikan pada penulisan kata ”I” yang berarti ”saya” yang selalu ditulis dengan huruf besar. Sebaliknya, bangsa Indonesia – khususnya suku Jawa dan Sunda – dikenal ramah dan sopan karena selalu menghormati lawan bicara.

Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kata ”saya” yang berasal dari kata ”sahaya” (hamba). Dalam bahasa Jawa, kita mengenal kata ”kulo” (”kaula”; Sunda) yang juga berarti hamba. Penghormatan terhadap lawan bicara dalam bahasa Indonesia dicirikan lewat kata ”Anda” atau kata sapaan lain yang selalu ditulis dengan huruf kapital.

Dalam sebuah kolom di HU Pikiran Rakyat, saya pernah menulis bahwa bahasa Indonesia itu jujur. Bahasa Indonesia itu sederhana dan apa adanya. Sebagai bukti, saya memberikan contoh sistem alfabet dalam bahasa Indonesia yang berkarakter apa adanya. Pada alfabet bahasa Indonesia, setiap huruf dibaca apa adanya. Huruf ”A” atau ”a” selalu dilafalkan [a] tidak menjadi [ei] seperti dalam bahasa Inggris. Begitu juga, huruf ”G” atau ”g” tidak pernah dibunyikan [khe] seperti dalam bahasa Belanda.

Berkat kejujuran dan kesederhanaan karakter bahasa Indonesia, orang merasa lebih mudah untuk mempelajarinya. Bahkan, orang asing sekalipun tak mendapat kesulitan untuk mempelajari bahasa Indonesia. Kita sering terperangah melihat orang-orang asing hanya membutuhkan waktu bulanan untuk menguasai bahasa Indonesia. Padahal, kita – bangsa Indonesia – belajar bahasa Inggris bertahun-tahun masih merasa sulit untuk menggunakan bahasa Inggris.

Jujur dan apa adanya adalah karakter pertama bahasa Indonesia yang ingin saya kemukakan di sini. Karakter itu bisa dipertentangkan dengan karakter yang semakin menggejala pada bangsa Indonesia saat ini, karakter munafik! Karakter yang sejak dulu ada lalu menggila atau semakin terbuka pada era reformasi ini? Karakter munafik yang menjadi cikal bakal karakter-karakter buruk lainnya seperti korupsi, tak mau bertanggung jawab, pembohong, dan lan-lain.

Karakter munafik pada bangsa Indonesia memang menggejala dari lapisan bawah hingga atas. Kebiasaan membuat laporan ”Asal Bapak Senang” (ABS) kini bukan hanya milik kalangan bawah. Bahkan, para petinggi pun sudah banyak mengingkari fakta. Silakan simak kasus-kasus kemarahan para petinggi ketika masyarakat mengadu adanya busung lapar atau sekolah mirip kandang ayam di suatu daerah. Itu terjadi pada era reformasi ini. Pengingkaran terhadap fakta itulah yang menjadi bukti kemunafikan.

Berikut adalah data yang bisa dijadikan sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang munafik.
Meski telah dibentuk lembaga khusus yang menangani praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktek KKN tetap tumbuh subur di negeri ini. Layak jika beberapa lembaga survei internasional seperti World Economic Forum (WEF) dan Pontical Economic & Risk Consultancy (PERC) tetap menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Hasil survei yang dirilis Transparency International baru-baru ini menyebutkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2007 turun 0.1% dibanding tahun 2006.

Lembaga survei yang berbasis di Berlin, Jerman ini menetapkan IPK Indonesia tahun 2007 sebesar 2,3 dan berada di urutan 143 dari 180 negara yang disurvei. Posisi Indonesia berada satu level dengan Rusia, Gambia, dan Togo. Sementara jika dibanding negara lain di Kawasan ASEAN, Indonesia berada dalam posisi paling korup ketiga setelah Myanmar (indeks 1,4) dan Kamboja (2,0). Sedangkan Filipina masih sedikit lebih bersih dengan indeks 2,5, Vietnam (2,6), Timor Leste (2,6), Thailand (3,3), Malaysia (5,1), dan Singapura (9,1). Tahun 2007, Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru menempati urutan pertama, kedua, dan ketiga sebagai negara yang nyaris tanpa korupsi dengan indeks 9,4. (Sumber: Business News, 1 Desember 2007)

Catatan buruk tersebut dapat kita jadikan bukti juga dapat kita buktikan secara kasat mata. Cukup dengan pergi ke pasar sehari saja, kita sudah bisa melihat bentuk-bentuk korupsi di kalangan bawah. Silakan simak bagaimana petugas parkir memungut biaya parkir kedaraan. Silakan perhatikan bagaimana petugas pemerintah menagih retribusi dari para pedagang kaki lima. Silakan tengok juga bagaimana petugas pemerintah meminta retribusi untuk angkutan kota, becak, ojek, dan lain-lain. Silakan amati bahwa itu terjadi di mana-mana di wilayah Indonesia.

Itu baru kita lihat dari satu sudut kehidupan bangsa Indonesia. Kita belum melihat dari sisi yang lain, seperti sisi pendidikan, kesehatan, keamanan, atau politik. Apabila dilihat dari berbagai sisi, mungkin kita bisa berpendapat bahwa korupsi di Indonesia sudah begitu menggurita. Lalu, kita semakin khawatir bahwa korupsi sudah menjadi karakter bangsa. Tentu saja, karakter korup yang merupakan efek dari karakter munafik sangat berbeda dengan karakter bahasa yang jujur. Karakter bahasa kita yang apa adanya. Apa yang tertulis sama dengan apa yang terdengar.
Selain jujur, bahasa Indonesia juga memiliki karakter yang sederhana namun lengkap. Kelengkapan dalam bahasa Indonesia bisa kita lihat pada tataran morfologis (bentuk kata) dan sintaksis (kalimat). Pertama, mari kita simak kelengkapan bahasa Indonesia pada tataran morfologis.

Agak berbeda dengan bahasa-bahasa lain, bahasa Indonesia memiliki beberapa bentuk yang unik. Bentuk unik itu adalah imbuhan (afiks) dan bentuk ulang (reduplikasi). Kedua bentuk tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk yang unik karena sangat jarang ditemui dalam bahasa lain yang tidak serumpun.

Afiksasi (prefiks, infiks, sufiks) dalam bahasa Indonesia bukan hanya tempelan melainkan memiliki fungsi. Setiap afiks memiliki fungsi yang berbeda-beda. Ada afiks yang berfungsi mengubah suatu kata dari kelas kata tertentu ke kelas kata yang lain (merah – memerah, kerja – pekerjaan, dll.) . Ada afiks yang berfungsi untuk mempertegas makna (makan – memakan, kirim – mengirimi, dll). Ada pula afiks yang berfungsi untuk membuat bentuk dasar kedua (angkat – berangkat, ajar – belajar, dll.).

Sama halnya dengan afiksasi, reduplikasi (perulangan) pun bukanlah bentuk yang tanpa makna. Reduplikasi juga memiliki makna yang beragam seperti menunjukkan bentuk jamak (buku-buku, murid-murid, dll.), bentuk saling (pukul-memukul, tembak-menembak, dll), atau bentuk penekanan (keheranan – keheran-heranan, berpelukan – berpeluk-pelukan, dll.).

Dari tataran sintaksis, bahasa Indonesia juga cukup lengkap dan sederhana. Kelengkapan tersebut dapat kita lihat dari pola kalimat bahasa Indonesia yang mewajibkan setidaknya ada predikat. Predikat itulah yang mewakili keutuhan atau kelengkapan ungkapan pikiran. Tentu saja, struktur kalimat bahasa Indonesia juga punya unsur subjek, objek dan keterangan. Hanya, dalam kalimat bahasa Indonesia, ungkapan pikiran yang lengkap paling tidak sudah bisa diwakili oleh hadirnya predikat. Contoh untuk itu adalah pada kalimat, ”Baca!”. Hal itu tentu memberi kemudahan bagi yang ingin belajar bahasa Indonesia.

Kemudahan untuk mempelajari bahasa Indonesia juga karena kesederhanaan bahasa Indonesia. Berbeda dengan bahasa Arab, Inggris, atau Sanskerta, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk dan struktur kalimat berdasarkan gender dan waktu. Kata makan tetap menjadi makan, baik digunakan untuk laki-laki maupun perempuan. Kata tidur tetap menjadi tidur, baik digunakan untu masa lalu, kini, maupun akan datang.

Contoh-contoh bentuk (morfologis) dan struktur kalimat (sintaksis) itu membuktikan bahwa bahasa Indonesia memiliki karakter yang lengkap dan sederhana. Sayang, karakter yang lengkap dan sederhana itu tidak terlihat dalam karakter bangsa Indonesia. Justru, bangsa Indonesia saat ini lebih senang pada hal-hal yang serbasingkat (instan) dan segera. Istilah ”potong jalur” atau ”potong kompas” sudah menjadi hal yang biasa. Oleh karena itu, jangan heran bila budaya antre sulit diterapkan di Indonesia.

Untuk membuktikan hal yang satu ini, tak perlu jauh-jauh kita melakukan pengamatan. Silakan perhatikan kondisi lalu-lintas di kota Anda. Silakan amati antrean kendaraan di terminal atau antrean orang di bioskop. Kita bisa melihat bagaimana kendaraan saling berebut mencari celah. Kita bisa melihat bagaimana orang-orang ingin saling mendahului walaupunharus ”jalan belakang”.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa hal yang sederhana – mengantre – saja menjadi hal yang sulit diterapkan di negeri ini? Pertama, kita bisa melihat kelengkapan fasilitas yang tidak memadai di negeri ini. Fasilitas lalu-lintas, misalnya, terganggu oleh pedagang kaki lima yang tidak punya area khusus. Trotoar untuk pejalan kaki habis digunakan oleh pedagang kaki lima. Lalu, para pejalan kaki pun berjalan mencari celah untuk berjalan, baik di trotoar maunpun di bahu jalan.

Para pengguna sepeda harus berebut jalan dengan pengguna sepeda motor, becak, angkutan kota, bahkan bus kota. Tak ada fasilitas khusus untuk pejalan kaki, kendaraan tak bermesin, kendaraan bermesin roda dua, kendaraan umum, atau kendaraan pribadi. Fasilitas kendaraan umum massal pun sangat minim.

Bagaimana dengan antrean di bioskop atau di stasiun? Walaupun orang-orang ”diwajibkan” mengantre, kita jarang melihat fasilitas tempat mengantre seperti besi pembatas atau nomor antrean. Akibatnya, orang-orang berebut karena ingin lebih dulu sampai di depan loket. Terjadi penumpukan orang di depan loket. Mereka berdesakan dan berebut tempat terdepan. Hal yang sederhana jadi tak sederhana lagi.

Itu fenomena umum yang sangat kasat mata. Kita belum bicara tentang fasilitas lain yang termasuk dalam perangkat hukum (aturan, undang-undang, petugas). Betulkah aturan kita sudah lengkap? Betulkah kita sudah memiliki undang-undang yang komprehensif? Sudahkah para petugas hukum menjalankan aturan dan undang-undang sebagaimana mestinya? Mengapa harus muncul ungkapan, ”kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?”

Penutup
Dua karakter bahasa yang bertentangan dengan dua karakter bangsa itu memang belum cukup untuk dijadikan dasar membuat simpulan. Apalagi, bila simpulan itu menyebutkan bahasa tak lagi menunjukkan bangsa. Namun, setidaknya lewat bahasan ini, saya bisa berharap munculnya kesadaran bahwa bahasa Indonesia memilki karakter yang kuat. Bahasa Indonesia bisa menjadi pegangan untuk membentuk karakter bangsa, bukan sebaliknya.

Sebenarnya, masih banyak karakter bahasa yang ingin saya sampaikan di sini. Karakter bahasa yang dimaksud adalah karakter yang bisa saja berubah mengikuti perubahan karakter bangsa atau karakter bahasa yang bertahan. Misalnya, apakah penyingkatan dalam bahasa Indonesia merupakan karakter baru bahasa Indonesia, seiring dengan karakter bangsa yang ingin serbainstan? Apakah merebaknya penggunaan kosakata dan istilah asing merupakan jelmaan karakter bangsa yang senang dengan barang impor?

Sayang, saya memiliki keterbatasan waktu. Saya belum bisa membahas hal-hl itu pada kesempatan ini. Insya Allah, pada kesempatan mendatang, saya bisa membuka bahasan dengan dasar penelitian yang lebih saksama dan ilmiah. Insya Allah.


Daftar Pustaka
Alwi, Hasan (Editor): 2001. Kalimat, Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono: 1998. Tata Bahasa baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta. Balai Pustaka
Lubis, Mochtar: 2001. Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban), Ceramah pada Tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki – Jakarta. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar: