19 Juni 2007

NGETEM

Oleh Immanuel Umbu Rey

Saya tidak tahu persis apakah kata ngetem itu termasuk bahasa gaul atau prokem. Yang saya tahu, ngetem itu belum muncul sebelum tahun 1980. Ini kata saban hari diucapkan orang di pinggir jalan atau di terminal bus, tetapi KBBI belum mau mencatat. Mungkin dikira bukan bahasa Indonesia.

Entah ini gejala apa, semua kata hampir pasti dapat diberi "awalan" NGE" dalam bahasa Indonesia dialek Betawi atau Jakarta. Maka, terdengarlah orang menyebut "ngelantur, ngedumel, ngelaba, ngelawan, ngebalas, ngerecoki, dan mungkin ngeres lalu ngejosss".

Anehnya, "awalan" NGE ini pun dapat mengikat kata Indonesia yang dipungut dari bahasa asing (terutama Inggris). Contoh: ngebos, ngefans, ngefren, lalu ada ngebesuk (dari bhs Belanda atau Jerman), dan sebuah stasiun teve menyebut dirinya NGETOP.

Sebermula, ketika terminal bus Lapangan Banteng masih menjadi pusat pengangkutan penumpang antar-kota antar-provinsi, lalu-lintas di Ibu Kota Jakarta sudah sangat semrawut dan menimbulkan macet di mana-mana.

Pada awal tahun 1980-an Departemen Perhubungan dipimpin oleh seorang menteri dari Angkatan Udara, Jenderal Rusmin Nurjadin. Yang mengurus masalah lalu lintas di darat (jalan raya dan jalan besi (rel) adalah pejabat di bawahnya, Dirjen Ir. Giri Suseno. Ibu kota negara DKI Jakarta waktu itu dipimpin oleh Suprapto yang menggantikan Tjokoropranolo.

Atas kebijakan pejabat negara ini, maka terminal Banteng ditutup dan pengangkutan penumpang dari dan keluar Jakarta dipindahkan ke Pulo Gadung, Cililitan, dan Lebak Bulus. Lama-lama terminal Pulo Gadung pun menjadi sangat padat dan nyaris tidak dapat menampung bus yang masuk dari luar kota.

Dirjen Giri Suseno lalu mengeluarkan kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh DLLAJR agar arus masuk keluar terminal semua bus penumpang antar-kota ditertibkan. Setiap bus boleh masuk dan menunggu penumpang tidak boleh lebih dari waktu yang telah ditentukan.
Maka setiap sopir bus wajib memiliki kartu jadwal parkir dalam terminal, dan setiap kali masuk terminal mereka harus menyerahkan kartu itu kepada petugas DLLAJR agar memudahkan pengaturan jam tunggu penumpang.

Celakanya, kolom masuk dan keluar terminal dalam kartu itu ditulis dengan istilah Inggris TIME. Dasar sopir yang "medok" Jawa dan Betawi kagak bisa omong Inggris "taim", maka sama seperti Tukul Arwana bicara Inggris di Empat Mata, meluncurlah dari mulut mereka kata TEM (seperti menyebut "rem", "bel" atau "lem").

Suatu ketika seorang sopir bus diusir dari terminal oleh anggota DLLAJR karena terlalu lama menunggu. Sang sopir lalu protes, tetapi petugas membentak, "Nah, kau ngetem kelamaan. Cepat kau keluar!" Sopirnya ngeri dan cepat-cepat keluar. Maklum, petugasnya Batak pula.
Sejak itu, NGETEM menyebar ke seluruh Tanah Air. Sopir bus menghentikan kendaraannya di tikungan pun disebut NGETEM menunggu "sewa". Hei, jangan heran, di kalangan sopir, SEWA itu sama artinya PENUMPANG.

Itu bahasa sopir-sopir bus. Saya cuma cerita asalnya, dan mungkin cuma asal-asalan sekadar NGECAP dalam milis ini. Ngecap itu bukan dari kata dasar CAP tetapi KECAP. Soalnya iklan kecap itu selalu unggul dan nomor satu. Yang lain, lewat semua. Maka orang yang suka "ngecap" biasa juga disebut NGEBO'ONG.

Percaya atau tidak, saya tidak ngebo'ong, cuma NGEOOOONG doang!!!! [Umbu Rey/Antara]

1 komentar:

pandir kelana mengatakan...

Istilah sewa tampaknya berasal dari Medan. Ketika saya belum lama di Jakarta, saya sering naik Kopaja bersama dua teman sekantor yang asli Betawi. Setiap kondekturnya teriak, "Sewa, sewa" keduanya pasti ketawa. Setelah sampai di kantor saya tanya mengapa mereka berdua ketawa mendengar "sewa." "Pak," kata yang satu, "Si Zak [lengkapnya, Zakaria] baru tahu arti "sewa" itu belum lama ini, jadi dia merasa lucu aja mendengar teriakan si kondektur," katanya menjelaskan sambil tertawa pula.