23 Juni 2008

Pulau Papua?

Saya sudah mendengar kata PAPUA semenjak masuk sekolah dasar. Yang saya tahu itu Papua itu adalah nama suku bangsa pada umumnya yang berdiam di pulau yang bernama Irian baik yang di Irian Timur maupun yang di Irian Barat. Yang di sebelah timurnya disebut Papua Niugini, atau New Guinea. Papua juga. Pulau besar di bagian timur Indonesia itu disebut Pulau Irian. Pulau itu direbut oleh Bung Karno pada tahun 1963 dari kekuasaan Belanda karena merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Yang disebut wilayah Indonesia adalah semua wilayah atau pulau yang merupakan koloni atau jajahan Belanda.

Itu sebabnya wilayah timur Pulau Timor (jajahan Portugis) dan Kalimantan Utara (wilayah jajahan Inggris) tidak masuk wilayah Indonesia. Timor Timur dan wilayah kantong Ambenu yang berada di wilayah Indonesia (di sebelah utara Kabupaten Timor Tengah Utara di NTT) pernah masuk menjadi wilayah Indonesia atas ambisi Presiden Soeharto.

Seminggu setelah Presiden Gerald Ford meninggalkan Indonesia pada tahun 1976, hiruk-pikuk terjadi di wilayah yang ditinggalkan Portugis itu. Akhirnya muncul Perjanjian Balibo ketika tiga partai di Timor Timur yakni Apodeti, Kota, dan Trabalista menyatakan bergabung dengan Indonesia. Sialnya, sebuah partai mayoritas berhaluan komunis Fretelin pimpinan Xanana Gusmao tidak mau bergabung.

Fretilin merupakan kependekan dari Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente yang dalam bahasa Portugis adalah sebuah gerakan pertahanan yang berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur, (wikipedia). Timor Timur akhirnya jadi wilayah Indonesia juga, tetapi Xanana Gusmao lari ke hutan dan menjadi buronan ABRI. Dia tertangkap ketika Abilio Soares jadi gubernur menggantikan menggantikan Carascalao. Masuklah dia ke penjara Cipinang hampir selama lima tahun. Sialnya, PBB tidak juga tidak mau mengakui wilayah itu, dan setelah Pak Harto dilengserkan tahun 1998, setahun kemudian terjadi pula pergolakan, dan akhirnya wilayah itu pun lepas dan merdeka. Nasibnya Irian tidak seperti itu.

Pada tahun 1969 terjadi Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat, dan hasilnya Irian menjadi wilayah Indonesia yang diakui PBB. Penghuni asli pulau itu kita sebut pula orang Irian. Sebenarnya bukan begitu. Orang di pulau Irian itu lebih suka menyebut dirinya PAPUA sejak dulu.

Maka itu ada lagu terkenal tahun 1960-an yang dinyanyikan oleh dua wanita besaudara asal Ambon bernama Paty Bersaudara. Lagunya begini:
Orang Papua makan papariPapari dengan bijinyaPakai mata telinga kalau mencari teman Jangan sampai dapat kulit durian Ref Uhate, uhate, uhate bae-bae...dst


Ketika Gus Dur menjadi presiden keempat menggantikan Habibie, penghuni wilayah itu resmi berganti nama menjadi PAPUA lewat undang-undang otonomi khusus. "Jadi, kami ini orang Papua, bukan orang Irian," kata seorang teman asal negeri itu.

Meskipun begitu, saya belum pernah mendengar ada Pulau Papua. Tetapi rasa-rasanya kok ganjil benar pulau itu disebut Pulau Papua. Lha, di alam peta pulau itu tetap saja disebut Pulau Irian. Apa sudan diganti ya? Mungkin saya "telmi' alias telah mikir.

Umbu ReyAntara

17 Juni 2008

Keseragaman Istilah Antarmedia, Kenapa Sulit?

Catatan Kaki Martin Moentadhim S.M.*

ANDA MAU jawaban ringkas atau berbelit-belit? Bila ringkas, Anda harus menerima kenyataan bahwa bahasa itu kesepakatan semata-mata. Di dalam kesepakatan, unsur yang sangat menonjol ialah subjektivitas. Lho, bukankah ada kaidah bahasa? Subjektivitas dimaksud apakah itu?

Mari kita jawab satu per satu. Yang pertama tentang subjektivitas dulu. Meskipun secara tertulis dalam bentuk buku langgam (style book) belum semua media, baik cetak maupun elektronik, memilikinya, dapat dikatakan semua media massa memiliki apa yang disebut kebijakan editorial (editorial policy).

Di dalam kebijakan inilah, justru para editor bebas menentukan kebijakan berbahasa di dalam medianya masing-masing. Bisa saja mereka akan memilih memakai semua kaidah bahasa, baik yang ada sebelum Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B) lahir maupun sesudahnya (baca: kaidah baru produk P3B). Namun, kebanyakan mereka justru menciptakan pengecualian, di antaranya agar medianya tampil beda.

Contoh paling populer ialah kaidah peluluhan terhadap kata dasar yang berhuruf awal k, p, t, dan s saat dibentuk dengan imbuhan menjadi kata jadian. Yang terlepas kaidah ini tentu saja kata jadian yang jelas-jelas dikecualikan, misalnya kata “mempunyai” yang dianggap terbentuk dari kata dasar “empunya” yang mendapatkan awalan “me” dan akhiran “i”. Jadi, Anda tidak mungkin memakai kata “memunyai”.

Akan tetapi, salah kaprah yang lazim justru bersitahan. Beberapa media cetak, misalnya Tempo, mengambil keputusan untuk tetap menggunakan kata “mempesona” dan tidak meluluhkannya menjadi “memesona”. Alasan bisa dicari-cari, seperti rasa bahasa dan kata dasar “pesona” terdiri atas tiga suku kata. Padahal, kaidah hanya mengecualikan kata dasar yang hanya terdiri atas satu suku kata.

Lebih dari itu, ada linguis, misalnya lulusan Universitas Indonesia (UI), yang bersikukuh bahwa tugas ahli bahasa ialah mencarikan alasan bagi fenomena bahasa yang lazim digunakan oleh masyarakat awam, sekalipun itu merupakan salah kaprah. Contoh ekstrem dari kasus ini ialah mayoritas umat Islam menggunakan kata “pewaris” dalam arti “pihak yang menerima warisan”, padahal KBBI jelas-jelas menentukan bahwa penerima warisan itu “ahli waris” atau “waris” itu sendiri.

Contoh lain yang heboh ialah istilah geografis nama negara yang dulu kita sebut Tiongkok. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menggunakan kata “China” (baca: Caine), baik tertulis maupun lisan, orang pun ramai-ramai memakai kata “China” dengan “c” ber-“h”. Padahal, KBBI menyodorkan satu pilihan: “Cina”, tanpa “h”.

Alasan di balik ini adalah permintaan negara yang bersangkutan. Dulu, wewenang untuk menentukan istilah geografis berada di tangan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Tetapi, belakangan, Departemen Dalam Negeri juga membikin daftar dan kaidah sendiri. Lebih dari itu, P3B, melalui KBBI, juga membuat daftarnya sendiri.

Dengan kata lain, kaidah pun sering kali tidak berwibawa dan tidak mampu mengikat pemakai bahasa. Di dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), singkatan istilah “perseroan terbatas” ditetapkan ditulis tanpa titik menjadi PT, tetapi sampai kini ada yang menulis P.T. dan kebanyakan bahkan menulis PT. Cara menulis yang terakhir ini jelas salah kaprah tanpa kaidah.
Kesalahan yang lebih unik ialah singkatan nama orang. Misalnya ada penulis bernama Artini Soeparmo. Dia terbiasa menulis namanya Artini.S, alih-alih dari Artini S. Repotnya, gaya yang melanggar kaidah ini mewabah, karena Dra. Artini Soeparmo dulu rajin menulis dan tulisannya yang dirilis Kantor Berita Antara pantas dikutip banyak koran, karena isinya rata-rata bagus.
Padahal, dulu, kaidah dan sistem penentuan istilah pernah berjalan baik dan berwibawa. Misalnya, mana yang benar: Tanjung Periuk, Tanjungperiuk, Tanjung Priuk, Tanjungpriuk, Tanjung Priok, atau Tanjungpriok? Waktu itu, Bakosurtanal, didorong oleh masyarakat maritim internasional, yang menuntut perlunya keseragaman nama geografis dalam peta pelayaran, memutuskan pemakaian kata Tanjung Priok. Nama yang ditulis sebagai dua kata ini pun digunakan secara internasional tanpa ada yang protes sampai sekarang.

Lantas, apa peran yang pernah diambil FBAM yang kemudian menjadi FBMM dalam masalah ini? FBAM, misalnya, pernah mencetak kesepakatan untuk menggunakan nama “Moskwa” untuk ibu kota Uni Soviet saat itu. Alasannya negara USSR saat itu menggunakan kata tersebut seperti terbukti dalam nama Radio Moskwa yang siaran dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, meski banyak duta media yang hadir pada rapat/diskusi FBAM saat pengambilan kesepakatan itu, hanya Kompas yang menggunakan nama Moskwa, ditambah satu orang redaktur di Kantor Berita Antara.
Tak pelak lagi, dibutuhkan kaidah bahasa yang berwibawa dengan sesedikit mungkin pengecualian agar tercapai, tidak hanya keseragaman istilah antar-media massa, melainkan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan berwibawa pula.

Teluk Bukit Merah Permai, Bekasi Jaya, Tuesday, June 17, 2008.10:05.
* Penulis ikut merintis dan mendirikan Forum Bahasa Antar-Media (FBAM), yang kemudian dikukuhkan sebagai organisasi longgar Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

12 Juni 2008

Pramudi

Oleh TD Asmadi

Jangan salah baca judul di atas. Benar. Memang judulnya pramudi, bukan pemudi, atau pramuka. Tentu setelah itu Anda akan bertanya-tanya, apa sih arti kata itu? Ada hubungan apa dengan kata pramuka, pramugari, pramusiwi, atau prakata?

Sebelum sampai ke masalah itu mari kita baca dua berita di bawah ini. Satu tentang kisah seorang pramudi dan lainnya tentang unjuk rasa para pramudi. Tulisan tentang Darminto diambil dari situs Transjakarta dan berita tentang unjuk rasa dari kantor berita Antara.

Menjadi pramudi busway betul-betul menyenangkan bagi Darminto, apalagi suatu ketika dia mengaku pernah secara tak sengaja mendengar obrolan ibu-ibu bahwa mereka senang sekali naik busway.. “Ada perasaan bangga campur haru. Entah kenapa mereka senang naik bus yang jadi batangan saya,”kata Darminto yang sebelum jadi pramudi busway lebih dulu mengikuti pusdiklat sopir tahun 2003.



Itu berita tentang seorang Darminto yang lagi senang-senangnya menjadi pramudi. Berita di bawah tentang unjuk rasa.


Operasional bus TransJakarta koridor I, pada Selasa sore sekitar pukul 15.30 WIB mulai berangsur normal usai aksi unjuk rasa para pramudi terkait adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) salah satu rekan mereka. Manager Operasional Badan Layanan Umum Transjakarta Rene Nunumete kepada ANTARA News, di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa aksi demonstrasi sempat terjadi pada pukul 13.00-14.00 WIB sehingga operasional koridor I selama beberapa lama agak terganggu.

"Saat ini sudah berangsur normal dan kami juga mengerahkan bantuan dari koridor II dan koridor III," kata Rene. Ia membenarkan informasi tentang alasan keberatan pramudi (pengemudi) atas keputusan PT Jakarta Ekspres Trans (JET) yang memberhentikan pramudi bernama Puput (50) dengan alasan indisipliner.



Kini sudah jelas istilah yang dipakai pada kedua tulisan di atas adalah pramudi. Kata ini belum lama muncul dan barangkali kata terbaru dalam bahasa Indonesia. Arti kata itu saya kira semua sudah paham: pengemudi. Namun, mengapa disebut pramudi dan bukan pengemudi? Bagaimana bisa menjadi pramudi? Apa beda pramudi dan pengemudi? Apa kata itu sekadar gagah-gagahan? Dari segi bahasa betulkah kata pramudi?

Gabungan dua kata

Kata pramudi jelas merupakan bentukan dari dua kata yang digabung, pramu dan kemudi. Pramu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III) ditulis sebagai ’yang bekerja di bidang jasa’. KBBI juga menjelaskan bahwa kata itu adalah bentuk terikat, artinya tidak mempunyai arti jika tidak digabung dengan kata lain. Ada 14 lema (entri) yang dikemukakan KBBI berkenaan dengan pramu-, mulai dari pramubarang sampai pramuwisma.

Mengapa Transjakarta, pengelola bus-bus khusus yang jalan di atas busway menggunakan istilah khusus pramudi, bukan pengemudi atau sopir? Apakah karena bus-bus itu mempunyai jalan khusus yang tidak dimiliki oleh bus umum lainnya? Atau karena pramudi memakai jas lengkap dengan dasinya? Transjakarta tampaknya hanya keren-kerenan saja, ingin beda saja. Karena berjalan di jalur khusus, karena memakai jas, karena ongkosnya lebih mahal, karena penumpang harus masuk daerah tertentu, maka mereka memandang yang mengemudikan harus mempunyai istilah tertentu. Maka dipilih kata pramudi.

Memang tugas pramudi beda dengan pengemudi bus umum lainnya, tetapi toh mereka mengemudikan bus juga, bukan memegang kemudi angkutan jenis lain, misalnya yang melayang setengah meter dari tanah. Sebenarnya, pengemudi bus kota lain, baik bus besar macam milik Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) atau Mayasari Bhakti, maupun yang kecil macam Metromini atau Kopaja, harus taat pada peraturan, sama seperti pengemudi transjakarta.

Mereka tidak boleh menghentikan busnya di sembarang tempat dan tidak boleh menaikkan penumpang dari pintu belakang, harus dari depan. Begitu sebaliknya. Namun, aturan itu tidak ditegakkan dengan ketat oleh pemerintah. Jadilah Transjakarta merasa memiliki hak untuk memberi nama pengemudi bus-bus mereka dengan pramudi.

Betulkah dari segi kaidah bahasa membentuk kata pramu dan kemudi menjadi pramudi? Jika dilihat dari kata bentukannya, ada yang janggal di sini. Pramuwisma, misalnya, terbentuk dari kata pramu dan wisma, lalu pramusaji dari pramu dan saji, serta pramuniaga dari pramu dan niaga. Tidak ada kata yang diluluhkan atau dibuang, semua digabung menjadi satu kata baru.

Demikian juga yang lain seperti pramukamar, pramutamu, pramubakti, dan pramubakti. Dalam pramudi, ada dua suku kata yang hilang, yaitu ke- dari kemudi dan -mu dari pramu. Artinya pramudi adalah bentukan dua kata yang masing-masing disingkat sehingga seolah-olah terjadi dari pra- dan –mudi. Ini cara terbaru membentuk kata(?). Menjadi tanda tanya, apakah hal itu dilakukan sekadar agar kata bentukan itu enak diucapkan? Kenapa bukan pramumudi atau pramukemudi. Atau bisa juga pramusetir?

Kata pramu

Lebih jauh tentang pramudi, sebenarnya ada yang lebih mengasyikkan dibahas: masalah kata pramu. Dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, kata itu hanya ada dalam edisi ketiga Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud (kini Pusat Bahasa Depdiknas). Pada edisi sebelum itu, tidak dicantumkan lema pramu, meskipun ada pramubakti, pramugara, pramugari, pramuria, pramusaji, pramuwisata, dan pramuwisma.

Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan Poerwadarminta pada seluruh edisinya tidak mencantumkan pramu, meskipun mulai muncul pramugari (‘orang yang mengatur dan memberi pelayanan kepada para penumpang (dalam pesawat terbang)’) pada cetakan ketujuh tahun 1984. Pada penerbitan sebelumnya, setelah pramasastra yang muncul adalah prangas-pringis. Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, juga hanya memasukkan pramugara dan pramu-pramu lain, tetapi tidak ada pramu Tentu saja karena itu pada kamus-kamus lain, apalagi yang terbit sebelum 1984, tidak bisa kita temukan kata itu.

Asal-muasal kata pramu, yang oleh KBBI disebut kata bentuk terikat, juga menarik untuk dibicarakan. Dari bahasa apa sih asal kata pramu ini? Kalau soal ini jelas nenek-moyangnya adalah bahasa Sanskerta. Dalam bahasa ini ada kata pramudita, tetapi tidak ada kata dasar pramu.

Gunawan Wibisono Adidarmodjo dalam buku Renda-Renda Bahasa, Petunjuk Praktis Guna Terampil dan Mampu Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar, menulis tentang asal kata pramugari. Dalam bab tentang ”Sang Pramugari Pemerkaya Kosa Kata Bahasa Indonesia” ia menulis:

Dilihat dari proses pembentukannya kata pramugari ini dibentuk dari pra- sebagai imbuhan dan mugari sebagai kata dasar. Bentuk pra- mengandung makna ’di muka’ dan kata ’mugari’ yang diambil dari bahasa daerah Jawa berarti ’orang yang melayani tamu pada suatu pesta’. Berakar dari makna inilah maka kata pramugari dimanfaatkan untuk menggantikan istilah stewardess dalam bahasa Inggris. Ternyata upaya menggantikan kata asing ini dapat diterima masyarakat. Di samping bunyinya enak didengar juga ternyata mampu menampung konsep pada kata stewardess tersebut.



Melihat proses pembentukannya maka tampak bahwa pramu dalam pramugari tidak mengandung makna apa-apa. Tapi anehnya bentuk pramu inilah yang dimanfaatkan masyarakat untuk bentuk acuan. Hal ini tampak pada kata-kata di bawah ini yang menunjukkan frekuensi pemakian yang relatif tinggi.

pramuria untuk padanan hostess
pramusiwi untuk padanan baby sitter
pramutamu untuk padanan resepsionis
pramuwisata untuk padanan guide

Bahkan, kini tampak kecenderungan memanfaatkan bentuk pramu sebagai bentuk acuan lebih tampak dengan dimunculkannya kata-kata seperti di bawah ini:

pramusaji untuk padanan waiter
pramukamar untuk padanan
roomboy
pramupintu untuk padanan doormen.
Saya tidak menemukan kata mugari dalam kamus-kamus bahasa Jawa yang saya miliki. Begitu juga kata wugari yang bisa jadi menjadi kata dasar dari mugari. Barangkali suatu saat saya bisa menemukan kata itu sehingga makin lengkaplah penelusuran asal kata pramugari.
Proses metanalisis
Mengapa pramugari (yang berasal dari pra- dan mugari oleh masyarakat dianggap seolah-olah berasal dari kata pramu dan gari, sehingga melahirkan pramu-pramu yang lain?
Harimurti Kridalaksana menyebut hal itu sebagai proses metanalisis. Dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, cetakan keempat, 2007), ia menulis:
Dalam morfologi bahasa Indonesia terdapat bentuk-bentuk yang secara histories tidak berasal dari bahasa Melayu awal, melainkan terjadi karena proses penyerpan dalam bahasa Melayu/bahasa Indonesia. Salah satu bentuk yang demikian adalah bentuk pakatdalam sepakat. Bentuk pakat merupakan morfem dasar terikat ‘baru’ yang berasal dari mupakat (yang berasal dari bahasa Arab: mufakat), karena proses metanalisis. Contoh lain ialah kata niaga dalam berniaga yang berasal dari kata Sanskerta vanijja. Prosesnya adalah vanijja > beniaga > berniaga.
Dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk-bentuk seperti pramusiwi, pramuwisma, pramuniaga, pramuwisata, pramuria, pramugayani. Bentuk-bentuk ini merupakan analogis dari kata pramugari yang berarti ‘orang yang mengatur dan melayani pesta di rumah’. Kata Jawa tersebut bukan merupakan gabungan bentuk pramu + gari, melainkan sebuah kata yang utuh. Jadi proleksem pramu terjadi karena metanalisis dengan pergeseran makna dan diberi makna ‘yang melayani’.
Harimurti memberi contoh yang lain yaitu kata helicak (kendaraan roda tiga yang ada di Jakarta). Menurut dia kata itu merupakan hasil metanalisis kata heli (dipenggal dari kata helikopter, karena kabinnya serupa) dengan cak (yang dipenggal dari kata becak, karena kendaraan itu beroda tiga dan untuk tiga penumpang).

Ia juga mengatakan proses metanalisis berbeda dengan derivasi balik. Dari derivasi balik biasanya diperoleh yang secara historis tidak ada, walaupun hanya penggalan, biasanya dengan makna baru.

Contoh lain, menurut Haarimurti, dalam proses metanalisis adalah telanjur, yang berasal dari anjur > teranjur > telanjur dan telantar yang berasal dari antar > terantar > telantar. “Terjadinya bentuk terakhir itulah yang kita sebut metanalisis.
Jelas dengan demikian, bahasa Indonesia makin kaya, meskipun berbagai pembentukan baru kadang-kadang tidak bisa dimengerti. Penciptaan oleh masyarakat memang ‘yang enak’ bagi mereka, terutama secara tuturan. Yang perlu diperhatikan adalah pentingnya ahli bahasa secara cermat terus mengawasi perkembangan kata baru itu. Jika masih dalam kaidah yang benar, perlu didukung dan jika ada penyimpangan, perlu dianalisis lebih dalam. Penjelasan kepada masyarakat tentang hal itu amat penting dilakukan.

Mengapa harus pramudi?
Kini ada satu hal lagi yang perlu dikemukakan. Mengapa perlu mengubah kata pengemudi menjadi pramudi?. Apakah untuk memberi tekanan bahwa pengemudi Transjakarta adalah orang-orang yang disiplin, yang rapi, yang berbeda dengan pengemudi angkutan umum lain yang sering ugal-ugalan?

Saya jadi teringat pada kata perempuan yang sekarang dipakai lagi mengganti atau sebagai pilihan lain dari kata wanita. Sebelum Kemerdekaan orang memakai perempuan, lalu karena dianggap tercemar, diganti dengan wanita yang dinilai lebih mulia. Kemudian, dalam perjalanan waktu karena ada anggapan kata itu tidak lagi mulia (ingat kata wanita tuna susila, WTS), maka dikampanyekan lagi kata perempuan. Kini, menteri yang mengurusi itu namanya Menteri Pemberdayaan Perempuan.

Pada zaman Belanda orang yang pekerjaannya mengemudikan mobil disebut sopir (untuk membedakan dengan sais bagi yang mengendalikan kuda penarik delman, masinis bagi kereta api, atau juru mudi bagi kapal). Kata itu ‘terjemahan’ masyarakat Indonesia untuk bahasa Belanda chauffeur (berasal dari bahasa Inggris, dulunya dari bahasa Perancis dengan susunan huruf yang sama). Dalam bahasa Inggris, kata chauffeur adalah professional driver of a motor-car (The Concise Oxford English Dictionary, terbitan 1950) lalu menjadi a person employed to drive a car for somebody rich or important (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, terbitan 1998).

Jadi, dalam bahasa aslinya sopir adalah pekerjaan yang tidak sembarangan, boleh dikatakan terhormat. Tidak setiap orang yang bisa mengemudikan kendaraan bermotor (mobil) dapat menjadi sopir. Juga tidak sembarangan orang bisa mempunyai sopir. Hanya orang-orang terhormat dan kaya yang bisa menjadi chauffeur eh sopir.

Oleh karena kemudian di Indonesia kata itu juga dipakai untuk mereka yang menyopiri kendaraan angkutan umum, baik yang besar maupun yang kecil. Maka jatuhlah gengsi kata sopir. Orang pun kemudian beralih ke kata pengemudi. Barangkali ini untuk membedakan antara sopir angkutan umum, yang sering ugal-ugalan, dengan sopir yang khusus untuk mobil pribadi atau juga untuk orang per orang yang mengemudikan mobilnya sendiri. Jadi pengemudi dipergunakan bagi sopir mobil pribadi, bukan angkutan umum.
Akankah pramudi dilebarkan artinya menjadi juga bagi pengemudi mobil sewaan, mobil pribadi, atau taksi? Perjalanan waktu yang akan menentukan. Setakat ini, setiap reka cipta bahasa, asal memenuhi kaidah, patut mendapat penghargaan. Media massa pun sewajarnya tidak perlu malu-malu menggunakannya.
TD Asmadi, Wartawan, Ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Pusat